|
|
|
|
‘Lapar’ Hati
Apakah hati bisa ‘lapar’? Pertanyaan ini mungkin agak sedikit menggelikan. Tapi itulah realitanya. Bahwa hati ternyata bisa ‘lapar’. Saya ingin membuktikan hal itu dengan hasil bacaan saya dalam satu suplemen majalah NOOR. Dalam suplemen itu dicatat bahwa “makanan sering dijadikan pelampiasan emosi saat stress, frustasi, jengkel, dll. Berdasarkan penelitian, secara alamiah seorang akan memilih makanan yang renyah (kacang, crakers), kenyal (siomay, permen, jelly) dan bertekstur (pizza, crepes, burger) saat sedang lapar emosional. Atau makanan lembut (es krim, keju, pasta), menenangkan (bolu, pudding, pie) atau yang penuh memori (risoles, roti isi cokelat, gulali), saat sedang lapar hati (perasaan hampa, resah, bosan, lelah, kesepian). Untuk 2 jenis kelaparan ini (lapar emosional dan lapar hati_red), sebaiknya yang diperbaiki adalah kondisi emosionalnya, agar keinginan makan, yang tidak perlu, menjadi berkurang. Misalnya dengan banyak bersedekah dan berzikir”. Itulah yang saya temukan dari suplemen tersebut. Luar biasa! Saya benar-benar inspired untuk mengulas lebih lanjut bahwa hati kita memang ada saat merasakan ‘lapar’. ‘Lapar’ hati biasanya ditimbulkan oleh pikiran yang lelah, stress, dan tertekan. Merasa teralienasi, hampa, bosan, kesal, dslb, adalah beberapa contoh penyakit yang bisa membuat hati kita ‘lapar’. Seorang sahabat Rasulullah SAW, ‘Abdullah ibn Mas‘ud pernah bertutur, “Jika hatimu sedang ‘lapar’, berwudhulah. Jika masih merasakan resah dan gelisah, maka shalatlah. Jika masih juga merasakan hal yang sama, bacalah Al-Qur’an. Jika belum berubah juga, mohonlah kepada Allah agar memberikan ‘hati yang lain’. Karena hati yang engkau pakai, ‘bukan’ hatimu.” Kita sendiri sering merasakan bagaimana hati kita begitu ‘lelah’ dan ‘lapar’. Menurut Imam ‘Ali karramallâhu wajhahu, hati itu ibarat jasad (tubuh). Bisa merasakan letih dan capek, bahkan lapar. Oleh karena itu beliau berpesan, “Hiburlah hati itu sesaat demi sesaat. Karena dia juga merasa ‘bosan’, letih dan capek seperti letihnya tubuh.” Jika tubuh yang letih (karena fisik, tampak secara zahir) sangat mudah memberikan soluis dan obatnya. Ketika tubuh lapar, obatnya jelas sekali: “makanan”. Kita bisa langsung mengonsumsinya. Yang sulit adalah mendiagnosa ‘lapar’ hati ini. Terkadang kita lalai bahkan mungkin tidak sadar, bahwa hati kita sedang ‘lapar’. Sehingga kita tidak tahu harus memberikan apa untuk hati kita. Obatnya adalah ‘wisata hati’. Hati harus selalu kita deteksi. Karena dia adalah ‘raja’ jasad kita. Penyakit jasad bisa kronis, jika didukung oleh penyakit hati. Jika hati kita ‘lapar’ yang menyebabkan dia sakit, maka jasad akan ikut rusak, bahkan binasa. Benar apa yang diusulkan oleh suplemen NOOR, bahwa kelaparan hati harus diobati (minimal) dengan dua hal: [1] sedekah dan [2] zikir. Sedekah adalah penghapus dosa-dosa kecil dan kesalahan yang kita lakukan. Dosa dan kesalahan itu adalah ‘noktah hitam’ yang menyakiti hati. Semakin banyak kita berbuat dosa dan maksiat, maka hati semakin sakit. Hati yang sakit adalah hati yang ‘lapar’. Ia harus cepat diobati, salah satunya adalah dengan memperbanyakn sedekah. Menurut Allah di dalam Al-Qur’an, zikir itu “penentram” hati. DIA menjelaskan, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka tentram dengan zikir kepada Allah. Sungguh, hanya dengan “zikrullah” lah hati-hati menjadi tentram.” (Qs. Al-Ra‘du: 28). Oleh karena itu, Kanjeng Nabi SAW menyuruh kita agar senantiasa ‘membasahi’ lisan kita dengan zikir. “Hendaknya lisanmu selalu basah dengan zikrullah.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Amatlah zalim siapa yang menyengsarakan hatinya. Sungguh berdosa orang yang melaparkan hatinya. Oleh karena itu, kita harus terus ‘mengenyangkan’ hati kita dengan memperbanyak sedekah dan zikrullah. Insya Allah, hati kita akan menjadi hati yang bersih, cemerlang dan benar-benar sensitif terhadap channel-channel kebaikan dan kebenaran. (Medan, Rabu: 28 Nopember 2007). ([http://alqassam.wordpress.com /http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Dua Hari Dua Malam”
Dunia adalah ‘panggung sandiwara’. Semua bentuk akting diatur oleh sang sutradari agung, Allah SWT. Skenario-Nya lah yang berjalan. Orang yang paling mengerti perannya di panggung ini, dialah yang akan mendapat ‘piala citra’ dari Allah. Sebaliknya, orang yang tidak dapat berlakon dengan baik, hanya akan mendapat celaan dan hardikan dari sang sutradara. Ia akan dianggap sebagai “aktor” atau “aktris” paling buruk dan dianggap tidak bertanggungjawab. Penilaian dan pemberian trofi itu akan diberikan di akhir, Hari Kiamat. Hasan al-Bashri berkata, “Ada dua hari dan dua malam yang belum pernah didengar oleh seluruh makhluk. Satu malam dimana engkau tidur di dalamnya bersama orang-orang yang ada dalam kubur. Sementara engkau sebelumnya belum pernah tidur di situ. Dan satu malam, dimana siang harinya adalah “hari kiamat”. Dan satu hari dimana engkau didatangi oleh seorang pemberi kabar dari Allah, apakah ia membawa kabar surga atau neraka. Dan satu hari dimana ‘Buku Catatanmu’ diberikan melalui tangan kananmu atau tangan kirimu.” Itulah “dua hari dua malam” yang belum pernah didengar sama sekali oleh siapapun. Ia datang perlahan namun pasti, slow but sure. Sungguh, dua hari dua malam itu akan kita temui dan kita rasakan. Dan tidak ada seorangpun yang dapat melewati dan menghindar darinya. Lihatlah ke belakang! Ada dua orangtua yang pernah kita temui dan kita hidup bersama mereka, namun sekarang sudah tidak bersama kita lagi. Kita tidak tahu pasti, sudah berapa malam ia tidur bersama ‘para pendahulunya’ di alam barzakh. Lihatlah ke samping! Berapa teman dan handai taulan kita yang pergi mendahului kita. Kita tidak mengerti, kenapa mereka tidak mau kembali. Untuk menghadapi dua hari dua malam itu, Allah mengajarkan kita untuk bersikap “kritis”. Setiap jiwa harus bisa melihat sejarah hidupnya di masa silam. Sejarah itu harus dijadikan starting point dalam memulai dan memetakan perjalanan selanjutnya. “Hari orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap individu memperhatikan apa yang telah diperbuatnya (di masa silam) untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Qs. al-Hasyr [50]: 18). Berlomba-lomba mengejar kekayaan adalah bukti seorang aktor yang tidak mengetahui perannya. Karena usahanya akan melupakan bagiannya di akhirat. Ini mengindikasikan bahwa dia tidak mengerti hakikat ‘dua hari dua malam’ itu. Seyogyanya, kecintaannya kepada perhiasaan dunia, tidak mengalahkan harapannya terhadap kemewahan dan kenikmatan akhirat. Itulah aktor dan aktris yang ‘adil’. “Jika engkau melihat seseorang yang berlomba menggapai duniawi, maka lombalah ia dengan amalan akhirat,” demikian kata Hasan al-Bashri. Sungguh, kita belum tahu situasi alam kubur. Karena orang yang telah ‘ziarah’ ke sana ‘enggan’ untuk kembali. Dalam sebuah nasehatnya, ‘Umar ibn Dzarr berkata, “Seandainya orang yang sehat tahu apa saja isi kuburan: jasad-jasad yang hancur lebur, niscaya mereka akan bersungguh-sungguh di hari-hari kosongnya (untuk beramal). Karena mereka merasa takut dari satu hari; dimana seluruh hati dan pandangannya menjadi goncang.” Masihkan kita lupa akan “dua hari dua malam itu”? (Medan, Selasa: 27 Nopember 2007) ([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Mampir Ngombe”
Saya ingin menulis refleksi ringan tentang kehidupan manusia di atas dunia. Kehidupan kita, di dunia fana. Hakikatnya, kita semua adalah ‘musafir’. Hanya berteduh di bawah pohon yang rindang yang bernama “dunia”. Suatu saat, kita akan meninggalkan pohon itu. Kita akan terus berjalan menuju tempat yang sebenarnya, ‘kampung akhirat’. Ya, kampung “terakhir”: kampung keabadian. Musafir yang baik dan bijak, dia tidak akan terpesona dengan indahnya panorama dan tiupan angin yang sepoi-sepoi di sekitar “pohon”. Karena itu bukan tujuan utamanya. Tapi, musafir yang tanpa bekal dan –tanpa–tujuan yang jelas, akan tertipu oleh ‘akesoris’ yang ada mengitar pohon tersebut. Bisa jadi, dia akan tertidur pulas di bawahnya. Sehingga, dia tidak ‘rela’ dan tidak kuasa untuk meninggalkannya. Akhirnya, dia jadikan pohon itu sebagai “tempat tinggalnya”. Dia pun enggan untuk meninggalkannya. Padahal Baginda Rasulullah SAW mengingatkan kita bahwa di dunia ini kita hanya sebagai ‘orang asing’ (gharib). Artinya, ini bukan kampung kita. Ini bukan residen kita yang hakiki. Beliau mengingatkan, “Bersikaplah di dunia seperti orang asing atau (hanya) sekedar lewat.” (HR. Al-Bukhari). Ya, kita hanya numpang lewat. Nasehat khusus itu Nabi SAW bisikkan dengan sangat mesra ke telinga ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khatthab, sembaring memegang pundaknya yang kokoh. Saat itu, ‘Abdullah pun bertutur, “Jika engkau di sore hari, maka jangan tunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sore hari. Ambillah kesempatan sehatmu untuk (bekal) sakitmu, dan hidupmu untuk (bekal) matimu.” Benar sekali! Kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang masih diberikan oleh Allah kepada kita. Pagi ini kita hidup, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Karena bisa jadi sore nanti kita dipanggil oleh ‘Sang Pemilik’ kehidupan. Mungkin sore hari kita masih diberi nafas, maka kita pergunakan nafas itu. Karena bisa jadi, orang-orang pada bangun di pagi hari, kita ternyata ‘tidur selamanya’. Imam Abu Dawud al-Tha’i pernah bertutur, “Malam dan siang hakikatnya adalah fase-fase yang dilalui oleh manusia, sampai mereka sampai kepada ujung perjalanan mereka. Jika di setiap fase itu engkau bisa mengumpulkan bekal, maka lakukanlah. Sungguh, keterputusan perjalanan itu sangat dekat. Dan masalahnya lebih cepat dari itu. Maka perbanyaklah bekal untuk perjalananmu…” Di dunia ini kita hanya ‘mampir ngombe’. Maka, kita harus banyak mengisinya dengan segala bentuk dan ragam ketaatan kepada Rabb kita. Sebelum kesempatan hidup dan desahan nafas dikembalikan kepada pemiliknya. Segala bekal dalam perjalanan kita, itulah yang akan kita ‘ketam’ di kampung kita yang sesungguhnya. Orang yang sadar bahwa hidup ini hanya ‘mampir ngombe’, dia tidak pernah menyia-nyiakannya. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun adalah ‘beker’ pengingatnya. Yang selalu berdering di qalbu-nya bahwa hidup ini hanya mampir ngombe. Semoga.[] (Medan, Minggu: 25 Nopember 2007) ([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Empat Sumber Kesengsaraan”
“Ada empat sumber kesengsaraan: [1] mata yang ‘jumud’; [2] kerasnya hati; [3] panjang angan-angan; dan [4] loba (tamak) terhadap dunia” (Dikeluarkan oleh Abu Nu‘aim di dalam Hilyat al-Awliyâ’) Itu keterangan Baginda Rasulullah SAW. Jika keempat hal tersebut ada dalam diri kita, artinya kita sudah ‘siap’ untuk sengsara. Bagaimana?! Mata ‘Jumud’… Mata yang jumud adalah mata yang ‘tidak sehat’. Ia banyak dipenuhi oleh kedengkian. Orang Arab biasa menyebutnya dengan ‘ain al-sukhthi, ‘mata yang penuh dengan kecurigaan dan kemurkaan’. Mata jumud adalah mata yang sakit. Ia hanya mampu melihat kejelekan orang lain. Pintar mengorek kesalahan orang lain, lupa dengan kesalahan diri sendiri. “Semut di ujung lautan tampak nyata, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan,” demikian pepatah orangtua menyatakan. Orang yang memiliki ‘mata jumud’ melihat semua orang “bersalah”, tidak sempurna dan penuh kekurangan. Sementara dia melihat dirinya sangat perfek dan tidak punya aib dan cacat. Orang model ini hanya akan menyiksa dirinya, karena dia ke mana-mana akan membawa ‘topeng’ wajahnya. Agar dia mampu menutupi kekurangan dan aib dirinya. Bukankah ini menyiksa diri? Karena dia selalu menampilkan artificial performance: penampilan palsu, tidak natural. Keras Hati… Hati yang keras hanya akan membuat pemiliknya ‘tersiksa’. Hati model ini hanya akan ditempati dan dipenuhi oleh perasaan negatif: takabbur, iri, dengki, marah, dslb. Keras hati adalah sifat orang-orang Yahudi (Qs. Al-Baqarah [2]: 73). Hati mereka keras bagai batu, bahkan lebih keras lagi kata Allah. Karena dari antara batu-batu itu ada yang mengalir sungai-sungai; ada juga yang terbelah lalu dari belahannya memancar air dan bahkan ada batu yang meluncur jatuh sanking takutnya kepada Allah. Hati yang keras biasa ‘getol’ dan tegar mempertahankan kebatilan. Juga, sering tertutup dari cahaya kebenaran. Hati yang kesat, keras dan diwarnai syahwat akan semakin membuat hidup pemiliknya tak karuan. Ia akan terus menyuruh dan mengajak tuannya melakukan dosa dan kemaksiatan kepada Sang Khaliq. Padahal maksiat dan dosa selalu menimbulkan rasa was-was, labil, tak tenang, dan merasa bersalah. Bukankah ini sangat menyiksa?! Panjang Angan-angan… Thulu al-amal, terlalu banyak bercita-cita dan angan-angan. Tidak ada angan-angan yang realistis, semuanya ‘melangit’. Orang yang panjang angan-angan biasanya tidak memiliki gairah hidup. Hidupnya statis dan stagnan. Kenapa? Karena dia mengharapkan langit dapat menurunkan emas. Suatu hari, khalifah ‘Umar ibn al-Khatthab melihat orang yang khusyuk berdoa di masjid, sampai menjelang siang. Ia banyak sekali mengajukan permintaan kepada Allah. Ia berangan-angan bahwa dengan doa itu Allah akan menurunkan seluruh yang dia minta, meskipun tanpa usaha. ‘Umar lalu menegurkan, “Hei fulan, jangan hanya banyak berdoa, sana pergi kerja. Sungguh, langit tidak akan menurunkan emas karena doamu itu.” Rezki, pangkat (jabatan), dan harta tidak bisa tercapai lewat sim salabim. Ia juga tidak dapat dinikmati hanya lewat ‘zikir jikalau’: seandainya, sekiranya, kalau saja, dlsb. Orang yang panjang angan-angan bukan orang yang produktif. Apa yang ia lakukan semuanya kontra-produktif. Karena angan-angannya tidak realistis –karena usahanya tidak riil–maka yang dia peroleh ada kekecewaan dan kesusahan. Loba, Tamak, Rakus… Ini juga sangat menyiksa batin. Karena sikap tamak (rakus) terhadap dunia akan menyeret pelakunya kepada jurang kesengsaraan. Yang ada dalam file kepalanya hanya 3 TA (Harta, Tahta dan Wanita). Ini lah sifat orang Yahudi. Bahkan mereka menginginkan dapat hidup seribu (1000) tahun lagi (Qs. Al-Baqarah [2]: 96). Nafsu duniawi mereka ini melebihi orang “musyrik”. Orang yang hanya mengejar dan menumpuk harta kekayaan kasusnya mirip dengan orang yang ‘minum air laut’. Semakin meminumnya, semakin haus tenggorokannya. Tidak ada habisnya. Bahkan menurut Rasul SAW, orang seperti itu tidak ada yang memenuhi perutnya, kecuali “tanah” alias kuburan. Mati saja. Baru urusannya selesai. Sifat tamak ini sangat menyiksa, karena tidak akan patuh kepada hukum Allah. “Halal-haram” baginya nomor sekian puluh. Yang penting adalah menumpuk kekayaan. Banyak kasus diberitakan, suami yang “saleh”, gara-gara memiliki istri yang tamak dapat menjadi suami ‘salah’. Orang yang rakus biasanya tidak mau bersikap qanâ‘ah: merasa cukup dan puas terhadap nikmat Allah yang diterimanya. Ia hanya akan melihat orang yang posisi duniawinya berada di atasnya. Padahal, itu sangat menyiksa. Karena di akan dipaksa oleh nafsunya. Ini lah yang diingatkan oleh Kanjeng Nabi SAW, “Lihatlah orang berada di bawah kalian, dan jangan lihat orang yang berada di atas kalian. Karena sesungguhnya itu lebih pantas, bagi kalian, agar kalian tidak memandang rendah nikmat Allah yang diberikan kepada kalian.” (HR. Al-Bukhari). Rasanya kita sama-sama sepakat, bahwa kita tidak mau sengsara. Tentu kita harus konsisten (istiqâmah) dengan kesepakatan ini. Bahwa kita harus ‘mendidik’ mata (pandangan) kita agar tidak menjadi “jumud”. Kita harus ‘memenej’ qalbu, agar tidak menjadi “keras”. Kita harus melatih pikiran kita, agar kita tidak suka berangan-angan kosong. Dan kita harus melatih nafsu kita, agar tidak menjadi ‘nafsu jalang’: tamak, rakus, loba dan serakah. Semoga! [] (Medan: Kamis, 22 Nopember 2007) [(http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com )]
<<Kembali ke posting terbaru
“Zuhud: ‘Meraih Cinta Allah dan Cinta Manusia”
“Zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.” Itu lah resep yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu al-‘Abbas ibn Sa‘d al-Sa‘idî. Dia menuturkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai nabiyallah, tunjukkan kepadaku satu amalan. Jika aku mengerjakannya, aku dicintai oleh Allah dan manusia.” Maka Nabi SAW memberikan resep di atas: “zuhud”. Pembagian Zuhud… Menurut Abdul Malik Al-Qasim dalam bukunya Al-Daqâ’iq Al-Mumti‘ah (Detik-Detik Penuh Makna: Ragam Kisah Sarat Hikmah, AQWAM, 2007) zuhud itu terbagi menjadi tiga: Pertama, zuhud yang wajib dilakukan setiap orang Muslim, yakni zuhud dari perkara yang haram. Jika seseorang melakukan yang haram, penyebab siksaan akan terwujud. Faktor yang menyebabkan siksaan mesti ada, selagi penyebab lain yang berlawanan belum terwujud. Kedua, zuhud yang dianjurkan (sunnah). Dalam hal ini, zuhud tergantung pada tingkatan anjurannya dan sesuai dengan sesuatu yang dizuhudkan itu. Zuhud di sini adalah zuhud dari hal yang makruh, berlebihan dalam mengonsumsi hal yang mubah, dan memperturutkan keinginan nafsu syahwat yang diperbolehkan. Ketiga, zuhud orang-orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam menapaki jalan menuju Allah SWT. Perlu diketahui, zuhud terhadap dunia bukan berarti sama sekali tidak mempedulikannya, tidak juga berpangku tangan maupun tak acuh. Namun, yang dimaksud dengan zuhud di sini ialah mengosongkan unsur dunia dari hati secara keseluruhan. Ia sama sekali tidak peduli dengannya. Selain itu, ia juga tidak membiarkan dunia menguasai hatinya, meskipun dunia berada dalam genggamannya. Zuhud Bukan Menolak ‘Dunia’… Ya, itulah hakikat zuhud. Ia bukan menolak kenikmatan duniawi. Zuhud tidak boleh diartikan ‘macam-macam’. Harus ada ilmu tentang zuhud, baru boleh berbicara tentang zuhud. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Banyak sekali orang berbicara tentang zuhud. Semua berbicara tentang pengalamannya, kondisi dan keadaannya. Orang-orang lebih mengunggulkan berbicara mengenai kondisi pengalamannya. Padahal, berbicara atas dasar ilmu lebih luas dan lebih tepat daripada berbicara dengan dasar pengalaman. Selain itu, lebih tepat dari sisi hujah dan penjelasan.” Kemudian, Ibnu Qayyim mengutip pendapat gurunya, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. “Saya pernah mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, ‘Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang kamu takutkan bahayanya pada hari kiamat.” Itulah ilmu zuhud. Jadi, zuhud jangan disalahfahami dahulu. Banyak orang memang salah faham tentang ini. Zuhud bukan berarti miskin, melainkan hidup apa adanya alias qana‘ah. Sehingga, hidup ini selalu ‘puas’ dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT. Lihatlah para sahabat, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Utsman ibn ‘Affan, dsb. Bahkan, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf adalah sahabat yang sangat kaya. Tapi kekayaannya membuat dia ‘takut harta’. Biarkan harta melimpah dalam genggaman kita, tapi jangan sampai ‘menimbun’ dan ‘menguruk’ mata hati kita. Itulah zuhud. Dengan mensyukuri nikmat Allah apa adanya, Allah akan mencintai kita. Dengan tidak loba (tamak) terhadap harta orang lain, kita akan dicintai oleh orang banyak. (Medan, Rabu: 21 Nopember 2007) ([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Belajar Menghargai Orang Lain”
Kata orang sih agak sulit menghargai orang lain. Bisa jadi pendapat ini benar. Karena secara fitrah, manusia selalu ingin “dihargai”, bukan “menghargai”. Artinya, manusia itu benar-benar egosentris. Dia selalu ingin “difahami”, namun jarang sekali berusaha untuk “memahami”. Akibatnya, berat untuk hormat dan menghargai orang lain. Dalam Islam, sikap menghargai orang lain merupakan identitas seorang Muslim sejati. Seorang yang mengakui dirinya Muslim, ‘wajib’ mampu menghargai orang lain. Baginda Rasulullah SAW menjelaskan, “Tidak termasuk golongan umatku orang yang tidak menghormati mereka yang lebih tua dan tidak mengasihi mereka yang lebih muda darinya, serta tidak mengetahui hak-hak orang berilmu.” (HR. Ahmad). Menghormati Orangtua… Siapa saja, yang penting orangtua. Bisa jadi orangtua kita sendiri: ayah dan ibu kita. Atau orang lain: tetangga, kakak, senior di kampus, senior di madrasah, dlsb. Orang yang terbiasa menghargai orang lain adalah indikasi etika (moral) yang baik. Orang yang tidak mau hormat dan menghargai orang yang lebih tua darinya, diancam ‘keluar’ dari koridor Islam. Ia tidak akan dianggap sebagai umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Na‘udzu billah min dzalik! Menyayangi Orang Muda… Orangtua wajib menyayangi anak-anaknya. Ini adalah naluri kemanusiaan. Kita seharusnya meniru sikap orangtua kita yang menyayangi kita. Sehingga, kita bisa menjadi pengayom orang yang lebih muda dari kita. Bisa jadi adik kita, junior di sekolah atau di kampus. Atau bisa jadi anak tetangga yang lebih muda dari kita. Kita harus bisa menimbulkan rasa rahmat (kasih-sayang) kita kepada mereka. Orang yang lebih tua tidak boleh mencerca atau menghina juniornya. Begitu juga sebaliknya. Orang yang suka mencerca dan mencela serta menghina saudaranya mengindikasikan bahwa dia juga sebenarnya “orang hina”, tidak terhormat. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “Hanya orang burung yang menghinakan saudaranya sesama Muslim.” (HR. Muslim). Menghargai ‘Ulama’… Mereka adalah waratsatul anbiyâ’, kata Baginda Rasul. Pewaris para nabi. Mereka mewarisi tugas para nabi: [1] menyampaikan ilmu dan [2] menyampaikan risalah Allah. Maka mereka ‘wajib’ untuk dihormati. Para ulama pun sepakat bahwa ulama yang benar (ilmu dan amalnya) dagingnya ‘haram’ dimakan. Artinya, kehormatannya tidak boleh dicederai. Apalagi jika sampai dicaci-maki. Menurut Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ulama itu terbagi dua: [1] ulama yang baik (ilmu dan amalnya) dan [2] ulama su’ (jelek atau buruk ilmu dan amalnya). Ulama model kedua ini lah yang tidak layak dihormati dan dihargai. Menghargai orang lain sebenarnya ‘kunci’ pemikat qalbu. Sehingga orang lain juga terpikat untuk menghargai kita. Tidak ada yang sulit sebenarnya, jika semuanya dikembalikan ke qalbu masing-masing. Jika selama ini kita merasa –selalu–ingin dihormati dan dihargai, di lembah yang sama, orang lain juga ingin diperlakukan demikian. Dengan begitu, egoisme tidak akan muncul. Yang lahir adalah ‘simbiosis mutualisme’: saling hormat-menghormati, saling harga-menghargai. Itu lah ciri dan identitas umat Nabi Muhammad SAW. Maka belajarlah untuk menghargai orang lain![] (Medan, Rabu: 21 Nopember 2007) ([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Memahami Hakikat Kematian”
Kematian itu pasti adanya. Ia ibarat “pintu”, setiap orang pasti akan memasukinya. Ia juga laksana “gelas”, setiap yang bernyawa pasti akan ‘mencicipinya’. Hakikat ini telah dinyatakan di dalam Kitabullah, “Tiap-tiap jiwa (yang bernyawa) akan merasakan kematian.” (Qs. Ali ‘Imrân [3]: 185). Ya, kematian itu pasti datang. Ia bak pencuri: datang tanpa kaki dan mengambil nyawa manusia tanpa tangan. Dan, ia datang tidak pernah ‘ketuk pintu’ dan mengucapkan salam. Dia datang tiba-tiba. Namun, dia pasti datang. Imam ‘Ali karramallâhu wajhah pernah bertutur tentang hakikat kematian ini. “Jika hari kematianku telah tiba, bagaimana aku bisa lari dari kematian itu, hari dimana telah ditakdirkan untuk tidak bisa atau bisa. Hari yang ditakdirkan itu tidak aku takuti, karena yang telah ditakdirkan mati, tidaklah selamat dari kepastiannya.” Itulah kematian. Tidak Ada Tempat Lari… Tidak seorangpun mampu melarikan diri dari kematian. Bahkan, kematian itu yang akan menemui kita, kapan dan dimanapun. “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa kematian yang kalian lari daripadanya, dia akan menemui kalian…” (Qs. Al-Jumu‘ah [62]: 8). Kita pun tidak dapat bersembunyi darinya: “Di mana saja kalian berada, kematian itu akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian bersembunyi di balik benteng yang sangat tinggi lagi kukuh…” (Qs. Al-Nisâ’ [4]: 78). Pesan ‘Ali ibn Abi Thalib… Kematian bukan untuk ditakuti. Karena takut atau tidak takut, kematian akan datang. Yang penting adalah persiapan untuk menghadapi waktu datangnya kematian. Maka, ada dua hal penting berkenaan dengan kematian ini: [1] Banyak mengingatnya. Jangan lalai dalam hal ini. Kematian harus memiliki file spesial dalam qalbu kita. “Perbanyklah mengingat kematian, sebab seorang hamba yang banyak mengingatnya, maka Allah akan menghidupkan hatinya dan akan menghilangkan baginya rasa sakit kematian itu.” (HR. Al-Dailami); dan [2] Bersiap-siap dalam menyambutnya. Kita harus mempersiapkan amal sebanyak-banyak untuk kematian. Al-Ashbu’ al-Hanzhali menceritakan bahwa menjelang kematiannya, Imam ‘Ali bersenandung lewat bait syair: bersiaplah menghadapi kematian, karena kematian niscaya menjumpaimu, janganlah engkau takut akan kematian saat ita telah berada di lembahmu (Medan, Selasa: 20 Nopember 2007) ([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])
<<Kembali ke posting terbaru
“Dari Abu Hayyan al-Tawhidi”
Alhamdulillah, hari ini (Selasa, 20/11/2007) saya mendapat nikmat yang luar biasa dari Harunan Rasyid. Dia baru saja menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dia memberikan majalah favorit saya, Majalah Al-Azhar. Majalah ini terbit setiap bulan di Mesir. Dan saya hampir tidak pernah absen untuk membelinya. Dalam rubrik Tharâ’if dan Mawâqif saya membaca kalam hikmah dari Abu Hayyan al-Tawhidi. Oleh karena itu, saya ingin mengulasnya menjadi sebuah artikel sederhana dalam catatan refleksi kali ini. Dalam kalam hikmahnya Abu Hayyan bertutur: {*} Haram bagi qalbu yang diterangi oleh cahaya Ilahi untuk berpikir di luar keagungan Allah. {*} Haram bagi “lisan” yang terbiasa zikir kepada Allah untuk ‘zikir’ kepada selain Allah. {*} Haram bagi yang belum melihat kebaikan, kecuali berasal dari Allah, untuk bersikap loba (tamak) terhadap selain Allah. {*} Haram bagi yang merasakan ‘lezatnya’ munajat kepada Allah untuk bermunajat kepada selain Allah. {*} Haram bagi yang dimuliakan oleh service Allah untuk ‘tunduk-bersimpuh’ kepada selain service Allah. {*} Haram bagi yang bersikap “lembut” (hangat) kepada Allah untuk bersikap lembut (hangat) kepada selain Allah. Subhanallah! Luar biasa. Benar-benar kalam hikmah yang luar biasa. Menggugah dan inspiring. Jika kita hampiri kalam al-Tawhidi ini, kita akan menemukan betapa dalam sindiran yang dikandungnya. Al-Tawhidi ingin menjelaskan kepada kita bahwa itulah realita manusia. Bisa jadi kita termasuk di dalamnya. Lupa Keagungan Allah… Itulah kebiasaan buruk kita. Kita lupa bahwa Allah sudah menjelaskan di dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) bahwa DIA itu Maha Agung. Setiap selesai membaca kitab-Nya kita selalu mengakhirinya dengan shadaqallahu al-‘Azhim, ‘Maha Benar Allah (yang Maha Agung) dengan segala firman-firman-Nya’. Tapi ironi. Kita jarang sekali merasakan keagungan-Nya. Bibir sudah capek, komat-kamit, membaca Al-Qur’an, tapi qalbu kita terus gersang. Kenapa? Mungkin kita belum terbiasa untuk merasakan cahaya Ilahi yang masuk ke dalam qalbu kita. Sehingga qalbu kita masih saja ‘kering-kerontang’. Bahkan –bisa jadi–lesu dan akhirnya mati. Na‘udzu billahi min dzalik. Ini hukumnya ‘haram’ kata al-Tawhidi. Zikir untuk Musuh-musuh Allah… Pernahkah kita berzikir untuk Allah? Jawabanya bisa “ia” bisa “tidak”. Semoga saja “ia”. Kita harus jujur, kita lebih sering ‘zikir’ untuk selain Allah. Kita zikir untuk anak-anak, istri, kebun, ternak, pekerjaan, kantor dan ladang serta tanaman kita. Kita lupa untuk zikir kepada yang memberikan itu semua. Kita terbiasa untuk mengingat kehidupan, tapi selalu melupakan kematian. Kita kejar dunia yang fana, kita lupakan kehidupan abadi kita. Kita berlomba-lomba untuk membangung ‘istana duniawi’, tapi sering menghancurkan ‘istana keabadian’ di sisi Allah sana. Inilah sindiran Abu Hazim kepada Sulaiman ibn ‘Abd al-Malik ketik bertanya kepadanya. Kita lupa bahwa zikrullah itu penentram hati, penenang jiwa. Zikir itu adalah “Tombo Ati”. Lalu kenapa kita malah zikir untuk selain-Nya? Loba (Tamak)… Kita terkadang melebihi binatang ternak. Kita lebih rakus dari sapi. Kita lebih buas dari singa. Kita lebih bejat dari anjing. Kita loba terhadap kehidupan duniawi. Sebaliknya, qalbu kita ‘miskin’ terhadap segala yang berbau ukhrawi. Akhirnya, kita meninggalkan Allah secara perlahan-lahan. Pada gilirannya, kita malah membuat ‘tuhan-tuhan’ baru di lubuk hati kita. Tuhan sudah kita marginalkan. Menyedihkan. Memalukan sekaligus memilukan. Munajat Untuk Makhluk… Munajat kepada Allah itu ‘lezat’, nikmat dan sangat berkesan. Kalau bisa, munajat itu membangun konsistensi qalbiyah. Agar kenikmatan dan kelezatan munajat kepada Allah itu tidak mudah dipalingkan kepada selain-Nya. Realitnya memang demikian. Kita sering ‘mengadu’: bersimpuh, merintih, bahkan meradang di hadapan ‘tuhan-tuhan’ versi kita. Padahal ‘tuhan-tuhan’ itu tidak dapat memberikan manfaat dan tak mampu mendatangkan bahaya apapun kepada kita. Menjadi Budak Makhluk… Lebih mulia menjadi hamba Allah. Sadar akan kekurangan diri adalah kunci ketundukan kepada Sang Khaliq. Kita sering diperbudak oleh ‘rayuan-gombal’ makhluk-makhluk Allah. Kita ingin terus di-service oleh para makhluk. Padahal, tidak ada pelayanan yang lebih baik dari pelayanan Allah. Kapan dan di mana saja, Allah siap menjadi ‘pelayan’ kita. Kuncinya di kita. Paradoks memang. Di satu sisi kita sadar bahwa pemberi nikmat dan kemuliaan Allah. Di sisi lain kita malah ‘bersyukur’ kepada selain-Nya. Kita bahkan ‘tega’ dan ‘nekat’ untuk memuliakan orang, benda, pihak, instansi dan organisasi yang –menurut kita–telah banyak mengangkat ‘derajat’ kita. Nikmat Allah hilang dari file-syukur kita. Mind-set sudah menyatakan bahwa Allah itu tidak ada apa-apanya. Acuh tak acuh terhadap keadaan kita. Tapi cobalah pikirkan! Siapa sebenarnya yang acuh tak acuh dan bersikap masa bodo bahkan cuek-bebek. Kita atau Allah? ‘Bermesraan’ dengan Makhluk… Menyedihkan orang yang berbuat seperti itu. Allah yang menciptakan kita. Sejak kita belum ada sampai ada, semuanya adalah sikap lembut dan kasih sayang Allah kepada kita. Kita sering “arogan”, emosional, bahkan ‘jengkel’ kepada Allah. Kita lebih suka untuk ‘bermesraan’ dan bersikap ‘sopan’ kepada makhluk-makhluk ciptaan Allah. Terbalik. Kita selalu bersikap oportunis. Memuakkan memang. Tapi itulah realitanya. Kita sering melupakan kasih sayang Allah, untuk meraih kasih sayang selain-Nya. Allah itu Maha Lembut. Allah itu al-Rahmân dan al-Rahîm. Berapa banyak kita menyadari hal itu? (Medan, Selasa: 20 Nopember 2007) [(http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com)]
<<Kembali ke posting terbaru
“Pintu-pintu Kebaikan”
Dari Mu‘adz ibn Jabal ra. bahwa dia berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang satu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga, dan menjauhkanku dari api neraka!” Baginda Rasulullah menjawab, “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar. Sesungguhnya ini sangat mudah, bagi siapa yang dimudahkan oleh Allah. Engkau menyembah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; mendirikan shalat; mengeluarkan zakat; puasa Ramadhan dan melaksanakan haji.” Kemudian beliau melanjutkan, “Maukah engkau aku tunjukkan? Puasa itu adalah ‘perisai’ (benteng), sedekah itu menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan air dan shalat seseorang di tengah malam yang sepi.” Kemudian beliau membaca: [lambung-lambung mereka jauh dari ranjang-ranjang mereka] sampai kepada ayat: [mereka kerjakan] (Qs. al-Sajadah: 16-17). Kemudian beliau berkata lagi, “Maukah aku tunjukkan penghulu satu urusan, tiangnya dan titik akhirnya? Aku menjawab, “Ya wahai Rasulullah.” “Pangkal (kepala) urusan itu adalah “Islam”, tiangnya “shalat” dan puncaknya adalah “jihad”.” Maukah aku tunjukkan ‘rem cakram’ untuk semua itu? “Ya, jawabku”, kata Mu‘adz. Rasulullah kemudian memegang lidahnya dan berkata, “Cukuplah engkau memelihara ini.” Wahai Rasulullah, apakah kita akan disiksa akibat dari lisan kita? “Wahai, Mu‘adz, tidak seorangpun yang disungkurkan wajahnya ke dalam api neraka, melainkan karena buah tidak mampu menjaga lisannya.” (HR. al-Tirmidzi). Lihatlah, bagaimana Mu‘adz menyampaikan pesan Kanjeng Nabi kepada kita. Sangat detail dan lugas. Tidak ada penghalang di sana. Siapa yang mau menjemputnya, niscaya dia akan sukses dalam menapaki hidup dan kehidupan di atas dunia yang fana ini. Itu lah pintu-pintu kebaikan yang sudah dibuka oleh Rasulullah kepada kita lewat da‘i yang dikirim ke Yaman, Mu‘adz ibn Jabal. Shalat Shalat adalah tiang agama. Orang yang meninggalkan shalat sama artinya menghancurkan agama, demikian jelas Baginda Rasulullah SAW. Bahkan, amalan yang pertama kali akan dihisab di Hari Kiamat adalah shalat kita. Kalau shalat kita baik, seluruh amalan kita akan dianggap baik oleh Allah. Jika sebaliknya, amalan kita –yang lainnya–tidak ada artinya. Anehnya, masih ada orang yang tidak mau melakukan shalat. Sungguh sombong orang ini. Sepertinya dia tidak butuh ‘sujud’ kepada Allah. Padahal, sujud itu akan dikembalikan kepada kita. Zakat… Zakat itu artinya tumbuh dan berkembang. Juga, artinya zakiyah dan tazkiyahi: bersih dan pembersihan. Jika harta kita ingin tumbuh dan berkembang, dan bersih lagi membersihkan maka kita harus mengeluarkan sebagian harta kita. Itu lah ciri orang yang bertakwa (takut kepada Allah) [Qs. Al-Baqarah [2]: 3). Dewasa ini banyak bermunculan ‘Qarun-Qarun Modern’. Semuanya menolak untuk mengeluarkan zakat. Seandainya Abu Bakar al-Shiddiq berada di tengah-tengah kita, niscaya mereka akan diperangi. Kenapa? Karena mereka berani memisahkan ‘zakat’ dari shalat. Menolak mengeluarkan zakat, sama artinya menutup pintu pengembangan dan berkah untuk harta kita. Puasa Ramadhan… Puasa ini datangnya sekali dalam setahun. Meskipun begitu, masih ada yang tidak mau melakukannya. Sungguh merugi orang yang tidak mau melaksanakannya. Karena puasa ini adalah ‘jembatan ketakwaan’ (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Jadi, orang yang tidak mau melaksanakannya sama artinya tidak mau didik oleh Allah untuk menjadi orang yang bertakwa. Sungguh sombong dan congkak orang ini. Padahal, training-nya hanya satu bulan, tidak lebih. Kita sudah memakan dan mengkonsumsi rezki Allah selama 11 bulan. Ketika diminta untuk berhenti –itu pun hanya di siang hari–untuk tidak makan-minum, banyak dari kita yang menolaknya. Puasa itu ‘junnah’: perisai atau benteng, kata Nabi. Siapa yang menolak perintah ini, berarti menolak imunisasi iman dan takwanya. Sedekah… Ya, perbanyaklah bersedekah. Sedekah itu menghapuskan kesalahan. Luar biasa. Bahkan, sedekah itu mampu ‘mengobati’ penyakit. Kata orang Nabi SAW, Daawu mardhaakum bi al-shadaqah, ‘Obatilah orang yang sakit dari kalian dengan sedekah’. Haji… Bagi yang sudah cukup hartanya, sambutlah seruan Allah ke rumah suci-Nya, Ka‘bah. Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah adalah tempat puncak rukun Islam. Bagi yang sudah sampai nominal kekayaannya, jangan tunggu-tunggu lagi. Katakanlah, “Labbaika Allahumma labbaik”. Ya Allah, aku datang menyambung panggilanmu ya Allah. Rasakan, bagaimana dekatnya dengan Allah di sana, di rumah-Nya. Kita bebas meminta dan menyampaikan hasra qalbu kita. Tahajjud… Ini kebiasaan orang-orang saleh terdahulu. Sungguh luar biasa shalat ini. Qiyamullah, demikian biasa disebut oleh orang. Saya menganalogikannya dengan SLJJ (Saluran Langsung Jarak Jauh). Saluran ini jarang dipakai oleh orang. Orang lebih memilih saluran yang biasa digunakan: Shubuh, Zhuhur, Maghrib, Isya. Mungkin ditambah dengan shalat rawatib lainnya. Tapi SLJJ ini sangat langka yang menggunakannya. Padahal, fasilitas ini sangat ampun dalam ‘menembus’ kabut dan hijab ilahi. Bukan main-main, shalat ini mampu memberikan pintu masuk dalam menyelesaikan problem (Qs. Al-Isra’ [17]: 79). Kata Allah, shalat ini mampu memberikan: [1] tambahan ibadah; dan [2] mengangkat pelakunya ke derajat yang sangat terpuji. Jihad… Jangan saklek dan monoton dalam memaknai Jihad. Jihad di medan perang sangat penting. Negara saudara kita seperti Palestina, Irak dan Chechnya, misalnya membutuhkan banyak mujahid. Umat Islam harus jihad ke sana. Seluruh umat Islam? Tidak mesti. Tidak wajib. Kita juga punya kewajiban jihad yang lain di negara dan lingkungan kita. Seorang pelajar, jihadnya adalah belajar dan baik dan sungguh-sungguh. Seorang suami, jihadnya adalah mencari nafkah yang halal untuk anak dan istrinya. Seorang da‘i jihadnya adalah menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia. Menjaga Lisan… Ini lah intinya. Siapa saja yang mampu menjaga dan memelihara lisannya, maka dia akan selamat dunia-akhirat. Shalat, zakat, puasa, haji, sedekah dan seluruh amal kita jika tidak didampingi oleh lisan yang baik, maka itu akan sia-sia. Betapa tidak, kita kadang ‘tidak sabar’ untuk menceritakan seluruh kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain. Padahal belum tentu baik. Shalat kita belum tentu khusyuk. Zakat kita belum tentu bersih. Sedekah kita belum tentu sempurna. Haji kita belum tentu halal hartanya. Terkadang kita umbar ke mana-mana amal kita itu. Kita ingin dianggap paling saleh, paling dermawan, paling banyak zakatnya dan paling kuat tahajjudnya. Kita naik haji pun kadang ingin agar penghuni dusun kita datang berbondong-bondon ke rumah kita untuk ‘mencium tangan kita’. Kenapa? Karena kita bangga menjadi ‘Wak Haji’. Haji jadi bahan pameran amal. Hati-hati, ‘mulutmu adalah harimaumu’, kata orang tua kita dahulu. Jangan tutup pintu-pintu kebaikan itu. Mari kita sambut. Mari kita ucapkan terima kasih kepada Mu‘adz, da‘i Rasulillah, yang telah membukan pintu-pintunya untuk kita. Semoga pintu itu tidak tertutup, sampai kita mamu memasuki seluruhnya. Amin ya Rabb. (Medan, Senin: 19 Nopember 2007) [(http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Pohon itu Bernama Ukhuwah”
Menurut Allah SWT dalam Al-Qur’an (Qs. Al-Hujurat [ ]: ) orang-orang beriman itu “bersaudara”. Saudara dalam bahasa Arab adalah akhun atau al-akh. Dari kata ini, diambillah kata al-ukhuwwah, yang bermakna persaudaraan. Oleh karena itu, siapapun orangnya, dimanapun dia tinggal, jika dia memiliki akidah (keyakinan) yang sama (Islam, Iman), maka dia adalah al-akh: saudara. Ukhuwah dalam Islam bukan hanya ikatan personal, melainkan ikatan komunal. Ia adalah ikatan yang kuat bagi seluruh umat Islam yang diikat dengan ‘tali iman’. Tali ini menjadi buhul yang sangat kuat dalam merapatkan shaff umat Islam, kapan dan dimanapun. Oleh karena itu, Islam sangat melarang umatnya untuk “berpecah-belah”. Maka, Islam memberikan aturan dan norma-norma yang dapat membentengi lesu dan matinya pohon rindang yang bernama ukhuwah ini. Dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r, Kanjeng Nabi Muhammad SAW menjelaskan, “Janganlah kalian saling mendengki; saling mengakal-akali (mengibuli dan menipu antar sesama Muslim); saling membenci; dan saling berpaling muka (menjauh). Janganlah sebagian kalian membeli barang yang sudah dibeli saudaranya, melainkan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya, tidak boleh menghina dan mencacinya. “Takwa” itu di sini --Kanjeng Nabi menunjuk dadanya sebanyak tiga kali. Cukup lah sebagai sebuah kejahatan, bila seorang Muslim itu menghina saudaranya. Setiap Muslim haram bagi Muslim yang lain: darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR. Muslim). Dalam hadits di atas, Kanjeng Nabi mengajarkan kita agar mampu memelihara ‘pohon ukhuwah’ itu. Agar jangan lesu, tak berdaya dan akhirnya hancur tanpa makna. Seluruh etika yang dilarang oleh beliau dalam hadits di atas adalah inti problem yang biasa muncul dalam setiap persaudaraan. Jangan saling dengki...! Biasanya sifat ini timbul dari su’u al-zhanna, negative thinking. Prasangka yang tidak baik biasanya menimbulkan tindakan yang tidak proporsional. Mudah menuduh dan membenci seseorang tanpa dasar. Menurut ulama, sifat dengki ini adalah sifat yang pertama kali muncul di dunia. Kisah ini sangat masyhur. Yakni kisah dua anak Adam as: Qabil dan Habil. Qabil membunuh adiknya (Habil) pemicunya adalah “dengki”. Dia tidak rela Habil kawin dengan Iklima (saudara satu kandungan dengan Qabil), karena parasnya lebih cantik. Dia menginginkan agar Iklima tidak menikah dengan Habil. Artinya, orang pendengki adalah orang yang menginginkan agar kenikmatan dari orang lain itu lenyap. Jika bisa, segala bentuk kebaikan dan kenikmatan yang ada pada diri orang lain adalah miliknya. Ini adalah sifat Qabil. Dan ini sifat yang sangat jelek. Islam sangat mengharamkan sifat ini. Oleh sebab itu, Nabi SAW menjelaskan, “Telah merayap (masuk) ke dalam jiwa kalian penyakit umat-umat terdahulu, yaitu dengki dan suka bermusuhan. Keduanya adalah ‘pemangkas’. Aku tidak mengatakan pemangkas rambut, melainkan ‘pemangkas agama’.” (HR. al-Tirmidzi). Jangan saling menipu...! Umat Islam tidak boleh saling berbuat makar. Membuat tipu-muslihat terhadap saudaranya. Ini namanya egoisme. Mau menang sendiri, walaupun harus mengorbankan sahabatnya bahkan saudaranya. Ini sama artinya dengan penipuan. Orang yang suka menipu, adalah orang yang suka menghalalkan segala cara. Istilah Arab menjelaskan, al-ghayatu tubarriru al-wasilah, ‘tujuan dapat menghalalkan segala cara’. Ini tidak dapat dibenarkan dan sangat diharamkan dalam Islam. Karena dia dapat merusak sendi-sendi persaudaraan. Dia dapat menggoncang bahkan menggerogoti ‘akar pohon ukhuwah’. Oleh karenaya, dalam jual-beli Islam menganjurkan kepada sang penjual (pedagang) agar bertindak jujur. Dia harus membeberkan cacat dan aib barang dagangannya kepada setiap pembeli yang datang untuk berbelanja ke tokonya. Dengan begitu, seorang pembeli merasa nyaman berbelanja. Lihatlah metode berdagangnya Kanjeng Nabi. Luar biasa. Bahkan gelar beliau adalah al-Amin: orang yang terpercaya. Karena beliau selalu berkata dan bertindak jujur. Subhanallah! Jagalah ‘Pohon Ukhuwah’...! Ini lah tugas setipa individu Muslim. Ia harus menyirami pohon itu. Ia cabuti rumputnya, agar pohon itu terpelihara dengan rapi. Sehingga, dia tumbuh sebagai pohon yang rindang: tempat berlindung dan berteduh siapa saja yang datang ke bawahnya. Luar biasa. Makanya kata Kanjeng Nabi, Muslim itu saudara Muslim yang lain. Darahnya haram, hartanya haram dan kehormatannya haram. Artinya, setiap individu Muslim harus mampu menjaga setiap sendi dan jengkal kehidupan saudaranya, baik berkaitan dengan darahnya, hartanya maupun kehormatanya. Dengan begitu, kita dapat menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Itulah harapan Baginda Rasulullah SAW.[] (Medan, Senin: 19 Nopember 2007) [(http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com)]
<<Kembali ke posting terbaru
“Zikir itu Penawar Kesedihan”
Semua orang pasti pernah dirundung “kesedihan”. Rasa sedih adalah sunnatullah. Ia tak mungkin ditolak dan tak dapat dihindarkan. Ia harus dihadapi dengan penuh perhitungan dan kesabaran. Harus dipahami bahwa kaidah kehidupan dunia adalah “tidak abadi”. Semuanya pasti mengalami perubahan. Dan yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Dunia tidak akan lepas dari pasangan: sedih-gembira, tangis-tawa, mulia-hina, kaya-miskin, sehat-sakit, dan mudah-susah. Semuanya dipergilirkan dalam kehidupan manusia. Dan setiap manusia ‘wajib’ mengalaminya, tanpa kecuali. Kanjeng Nabi SAW pun biasa dirundung rasa sedih, karena memang hak prerogatif Allah untuk membuat seseorang tertawa dan menangis (Qs. al-Najm: 43). Artinya, silahkan ‘dinikmati’ setiap episode kehidupan yang diberikan kepada kita. Semuanya sudah diatur lewat “skenario” Allah. Kaidahnya adalah: langit tak selamanya mendung. Dan bumi tak selamanya dilanda kemarau. Semua pasti bergilir. Petuah ‘Ikrimah… Seorang sahabat, ‘Ikrimah pernah memberikan petuah berharga, Laysa ahadun illa wa huwa yafrah wa yahzan. Walakim ij‘alu al-farah syukran wa al-hazan shabran (Tidak ada seorangpun yang tidak dilanda oleh rasa gembira dan sedih. Tapi, jadikanlah kegembiraan itu sebagai pengukur rasa syukur, dan kesedihan sebagai barometer kesabaran). Artinya, jika kita ditimpa kenikmatan: hidup senang, rezki lapang, pekerjaan mudah, dsb, maka itu harus kita jadikan sebagai ajang untuk bersyukur kepada ‘Sang Khaliq’. Dia-lah yang memberikan segalanya kepada kita. Dan ketika kita ditimpa kesedihan: ditinggal salah seorang anggota keluarga, kehilangan benda yang kita cintai, ditimpa oleh penyakit, dlsb, maka itu harus kita jadikan sebagai ‘pupuk’ kesabaran. Dengan begitu, kesenangan tidak membuat kita lupa daratan. Dan, kesedihan tidak membuat kita mudah mencari ‘kambing hitam’. Subhanallah! Penghapus Dosa-dosa Kecil… Allahu Akbar! Ini kabar gembira dari Kanjeng Nabi. Beliau menyatakan, “Segala yang menimpa seorang Muslim: rasa capek (lelah), rasa sedih (khawatir terhadap masa depan) dan sedih (terhadap masalah yang menimpa), rasa sakit, problematika hidup yang membuat murung, bahkan tertusuk duri sekalipun dijadikan oleh Allah sebagai ‘penghapus dosa’ (kecil)nya.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Subhanallah! Tentunya, segala bentuk ketidakenakan tersebut dihayati dan ‘dinikmati’ dengan penuh perhitungan dan kesabaran. Dengan demikian, tidak ada bencana yang dianggap sebagai “bencana”. Semuanya bakal menjadi anugerah terbaik bagi yang merasakannya. Berzikirlah! Menurut Allah, tidak ada yang mampu meredam gundah dan gelisah kecuali zikir kepada-Nya. Tidak ada yang mampu menghilangkan rasa sedih, selain mengingat keagungan dan kemahaan Allah SWT. Dengan zikir, hati setiap orang yang bermasalah akan menjadi “tentram” dan “tenang”. Ini adalah konsep Qur’ani-Ilahi. “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karena ‘zikrullah’. Sungguh, dengan zikrullah hati-hati menjadi tentram.” (Qs. al-Ra‘du: 28). Tentunya zikir bukan sembarang zikir. Ia harus didasari dengan penuh keimanan kepada Allah. Ia benar-benar yakin bahwa segala problem –apapun bentuknya–tetap ada solusinya di sisi Allah. Kesedihan akan sirna dan hilang jika seluruhnya dikembalikan kepada-Nya. Oleh karena itu, orang-orang beriman, menurut Allah, ada orang yang selalu “PD” dalam hidupnya, dan tidak pernah merasa sedih. Karena mereka yakin, keimanan mereka semakin memperkokoh posisinya di sisi Allah. (Qs. Ali ‘Imran: 139). La tahzan, kata Allah SWT. La tahzan, kata rasul-Nya. Kata Abdullah al-Qarni pun La tahzan! (Medan, Rabu: 14 Nopember 2007). “Ya Allah, Engkau Maha Tahu betapa lemahnya hati kami. Kesenangan yang Engkau berikan kadang tak membuat kami bersyukur. Kesedihan yang menimpa kami kadang menjadikan kami tak sabar. Jadikan hati kami hati yang bersinar, sabar, syukur dan senantiasa bergembira. Jadikan kami sebagai ahli zikir, agar selalu bisa mengingat-Mu di kala senang dan susah. Ya Rabb, hilangkan kesedihan kami dan ganti dengan kemudahan dan kesenangan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa” http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Orang Bodoh”
“Setiap orang yang berbuat maksiat kepada Allah adalah orang “bodoh”. Setiap orang yang takut kepada-Nya adalah orang “alim” dan taat kepada-Nya. Ia menjadi orang yang “bodoh” karena kurangnya rasa takut kepada Allah. Sebab, jika rasa takutnya kepada Allah sempurna dan baik, niscaya ia tidak akan berbuat maksiat dan dosa kepada-Nya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) Saya gemetar membaca penjelasan Syaikhul Islam ini. Ya, mengigil rasanya tubuh ini. Betapa tidak. Selama ini saya adalah orang yang amat bodoh. Hampir setiap menit bahkan detik jiwa ini berbuat dosa kepada Allah. Bisa jadi jasad kita luput dari perbuatan maksiat, tapi qalbu siapa yang menjamin. Sungguh benar-benar bodoh diri ini. Orang bodoh adalah orang yang tak mengenal maqam (kedudukan) Rabb-nya. Karena dia tidak tahu maqam-Nya, maka dia berani menyimpang dari petunjuk-Nya. Ujungnya, seluruh larangan-Nya biasa kita kerjakan. Perintah-Nya pun selalu kita langgar. Perbuatan dosa tidak pernah ‘alpa’ dalam setiap sendi kehidupan kita. Kebiasaan buruk kita menjadi kebutuhan yang harus terus dipenuhi. Harus diakui, memang sulit menjadi orang “alim”, tapi bukan mustahil. Yang penting adalah ada ‘azam (keinginan kuat) dalam qalbu, insya Allah akan tercapai. Karena hanya orang alim lah yang mengerti kedudukan Tuhannya. Dia akan merasa takut kepada-Nya, sehingga mampu memenej jiwa (nafsu)nya dengan baik. Orang ini lah yang dijanjikan oleh Allah untuk meraih surga-Nya, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempatnya.” (Qs. al-Nazi‘at [79]: 40-41). Sedangkan orang “bodoh”, akan terus mengumbar hawa nafsunya. Yang ada dalam benaknya hanya kehidupan dunia. Akhirat tidak masuk dalam file otaknya. Akhirnya, dia tidak takut-takut untuk berbuat tiran dan mengejar kehidupan dunia. Allah tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Paling banter, ‘Allah’, dalam dirinya, bersemayam di ‘langit ketujuh’. Allah tidak pernah ‘membumi’, apalagi singgah di qalbunya. “Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka adalah tempat tinggalnya.” (Qs. al-Nazi‘at [79]: 38-39). Na‘udzu billah mindzalik. Saya jadi menerawang jauh kepada nasib saudara-saudara kita yang belum menikmati indahnya hidayah Allah. Mereka masih dimarginalkan oleh hawa nafsu. Saya jadi menggidik jika ingat kisah para pelacur. Mereka begitu ‘ikhlas’ menjajakan dirinya hanya untuk memuaskan nafsu binatangnya. Ada juga memang yang “terpaksa”. Tapi berapa persenkah yang terpaksa itu? Rata-rata ‘ikhlas’ kok. Menyedihkan. Karena mereka tak mengenal Allah. Memilukan, karena mereka menjadi orang bodoh. Sekiranya mereka sadar bahwa suatu saat mereka akan dicampakkan oleh orang-orang yang pernah ‘menikmatinya’, mungkin mereka tidak menjadi bodoh. Saya yakin mereka akan kembali kepada-Nya. Bersimpuh dan memohon ampun di hangat dekap-Nya. Lihatlah negeri kita yang masih dipadati oleh orang-orang bodoh. Penjambret, perampok, pembunuh, pezina, pemabuk, koruptor, hakim bejat, artis kurang ajar, dukun santet, kiyai cabul, ustadz jahat, dslb. Mereka seluruhnya adalah club orang-orang bodoh. Mereka berbuat amoral karena memang bodoh. Mereka berzina, karena memang bodoh. Mereka tak mengenal Tuhan. Akhirnya rasa takut kepada-Nya “tercerabut” dari dalam qalbu mereka. Pada gilirannya, perbuatan dosa adalah ‘sarapan pagi’ mereka, atau ‘musik dan ritme’ kehidupan mereka. Kita hanya bisa berdoa. Semoga mereka menyadari kebodohan mereka. Semoga cahaya hidayah Allah masuk ke dalam qalbu mereka. “Ya Allah, sang pembolak-balik qalbu! Kukuhkanlah qalbu-qalbu kami dalam meniti ajaran agama-Mu dan meniti ketaatan kepada-Mu. Maha Suci Engkau wahai Rabb; sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zalim. Ampuni kebodohan kami ya Rabb. Bimbing kami dalam meniti tangga-tangga orang-orang alim. Tangga orang-orang yang mengerti dan faham akan maqam-Mu”. Amin. (Medan, Rabu: 14 Nopember 2007) http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Zakat Buku”
Syeikhul Islam, Ibnu Taimiyah, pernah bertutur, “Orang yang tidak memiliki harta untuk membeli buku yang ingin ia kuasai, ia boleh mengambil bagian dari zakat guna membeli buku yang ia perlukan untuk kemaslahatan agama dan dunianya.” Subhanallah! Sungguh bijaksana “Syeikhul Islam” ini. Benar-benar visioner. Beliau faham benar bahwa umat ini harus maju lewat buku. Beliau sadar bahwa masalah buku memang masalah urgen yang tak berujung. Karena kebutuhan terhadap buku sejalan dengan roda kemajuan zaman. Seharusnya, masalah buku menjadi perhatian pemerintah kita. Bahkan, bila perlu, dianggarkan dalam bentuk ‘zakat’ buku seperti yang diusulkan oleh Ibnu Taimiyah. Agar apa? Agar seluruh umat ini menjadi “umat” yang berkualitas, karena memiliki fasilitas untuk itu. Baytul Hikmah di Bagdad adalah sarana penting di era khalifah al-Makmun untuk menunjang kemajuan umat. Perpustakaan umat Islam di Cordova (Spanyol) dan Alexandria (Mesir) merupakan bukti kepedulian umat terhadap peradaban: ‘peradaban buku’. Umat harus terus diajak ‘dialog lewat buku-buku’. ‘Dialog’ Buku....?! Masalah kebodohan umat Islam semakin hari semakin “akut” dan “kronis”. Karena umat sudah menjauhkan diri dari sunnatullah, membaca. Membaca buku adalah sunnatullah yang sejak awal digariskan lewat konsep Iqra’ (Qs. al-‘Alaq: 1-5). Maka tidak mengherankan jika umat Islam di Abad Pertengahannya (ketika Eropa dan Barat berada di Era Kegelapan/The Dark Age) mencapai masa The Golden Age, hingga mampu menguasai setengah dunia. Bebebarapa jantung peradaban Islam, seperti Cordova, Granada, Bagdad, dan Mesir menjadi pusat studi orang-orang Eropa dan Barat. Sekarang justru terbalik 190 derajat. Umat Islam malah terperosok ke dalam The Dark Age. Benar-benar gelap. Karena pintu sinar dan cahaya peradaban itu ditutup rapat-rapat. Dialog dengan buku sudah hilang --baik disengaja maupun tidak. Umat Islam klasik maju karena dua (2) buah buku agung: Al-Qur’an dan Sunnah. Kedua buku ini menjadi KMB (Konferensi Meja Buku) mereka ketika itu. “Musyawarah Buku”, menurut Khalid Abou El-Fadl memang harus dilakukan. Jika tidak, umat ini akan mati digilas zaman. ‘Zakat’ Buku!!! Ya, kita harus menyisakan sebagian rezki kita sebagai book fund. Umat harus diberi zakat khusus, zakat buku. Pemerintah harus sadar bahwa tidak semua orang memiliki finansial yang cukup untuk membeli buku. Pemerintah jangan menambah kalkulasi ‘Anak Yatim’ di negeri. Negara juga harus tahu bahwa banyak orang pintar di negeri ini. Tapi mayoritas kepintaran mereka terbentur dengan ketiadaan dana. Dinding utama yang menghambat mereka adalah duit. Zakat buku benar-benar mendesak dan harus segera dianggarkan. Agar anak-anak negeri ini tidak menjadi ‘Anak Yatim’. Karena “yatim” yang hakiki itu adalah “kebodohan” dan “amoral”. “Laysal yatimu man mata waliduhu. Walakin al-yatima yatimu al-‘ilmi wa al-adabi” (Yang disebut yatim itu bukan yang meninggal orangtuanya. Tetapi yatim yang sebenarnya adalah ‘yatim ilmu dan moral’). Bagaimana tidak menjadi yatim, jika dana untuk membeli buku saja tidak ada. Bagaimana anak negeri tidak amoral, jika mereka tidak pernah membaca dan mendapat ajaran tentang etika dan moral yang baik (al-akhlaq al-karimah). Maka, “zakat buku” harus benar-benar terealisir, jika tidak ingin terjadi bencana yang lebih besar di negeri ini. “Zakat buku”. Ya, zakat buku. Thanks so much for your briliant idea Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.[] (Medan, Rabu: 14 Nopember 2004). “Ya Allah, kami sadar bahwa sejak awal Engkau telah mengajarkan ‘Iqra’. Kami tahu bahwa Engkau menginginkan kami menjadi umat yang ‘beradab’ dan berperadaban. Tapi kami selalu malas, malas membaca. Kuatkan dan teguhkan qalbu kami dalam membaca Kitab-Mu dan sunnah rasul-Mu. Semoga kami mampu ‘berdialog’ dan ‘bermusyawarah’ dengan buku-buku itu: buku-Mu, buku rasul-Mu dan buku-buku yang berbicara tentang buku-Mu dan buku rasul-Mu”. Amin http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Semuanya ‘Wajib’ Bersedekah”
Suatu hari, seorang sahabat yang bernama Abu Musa Al-Asy‘ari hadir ke Masjid Nabawi untuk menemui Rasulullah SAW. Karena biasanya, seusai shalat Kanjeng Nabi SAW memberikan tausiah kepada para sahabatnya. Kali itu, Nabi SAW dalam halaqahnya, berkata kepada para sahabatnya, “Setiap Muslim harus bersedekah!” Seorang sahabat kemudian bertanya, “Wahai rasul, engkau kan tahu tidak semua orang memiliki harta. Bagaimana dia bersedekah?” “Hendaknya dia bekerja, kemudian hasilnya untuk dirinya sendiri dan untuk bersedekah!” jawab Rasul. “Bagaimana jika dia tidak mampu bekerja?” tanya orang itu dengan rasa ingin tahu. “Hendaknya dia memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan!” tegas Nabi SAW. “Wahai rasul, bagaimana jika itu pun dia tidak mampu melakukannya?” tanya orang itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Hendaknya dia mengerjakan kebajikan dan menghindarkan kejelekan! Hal itu, bagi seorang Muslim, bernilai sama dengan sedekah!” jawab Rasulullah SAW. Apa yang terbersit dalam benak Anda setelah membaca dialog Kanjeng Nabi SAW dengan seorang sahabatnya itu? Mungkin macam-macam yang muncul. Yang jelas, menurut saya, sedekah itu gampang. Pilihannya cuman satu di antara dua: like or dislike. Mau atau tidak. Ya, itu saja. Kita juga sepakat dengan pendapat sahabat tersebut bahwa tidak semua orang diberi kelebihan rezki oleh Allah SWT. Maka alternatifnya adalah: kita harus bekerja sekuat tenaga kita. Hasilnya, kita makan dan kelebihannya dapat kita sedekahkan. Jika ini pun tidak mampu kita lakukan, kita harus jeli terhadap orang di sekeliling kita. Mungkin ada nenek tua yang ingin menyebrang, kita harus sigap dan cepat tanggap. Seberangkanlah dia ke tepi jalan. Mungkin ada orang yang minta diangkatkan kopernya ke atas angkot, kita harus buru-buru menolongnya. Ini juga cara sedekah, kata Kanjeng Nabi SAW. Jika itu pun tidak bisa, maka yang harus kita lakukan adalah “berbuat baik”. Apa saja, yang penting baik. Dan, kita harus dapat memelihara jiwa kita agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang tidak baik. Karena itu adalah bentuk “maksiat” kepada Allah SWT. Itu akan diganjar oleh Allah sebagai “sedekah”. Sungguh, pintu amal terbuka lebar dalam Islam. Sungguh, kita benar-benar ‘wajib’ sedekah. (Medan, Kamis: 8 Nopember 2007) “Ya Allah, ingatkan kami bahwa dalam harta kami ada hak orang lain. Tegur kami bekerja itu ibadah, hasilnya bisa disedekahkan. Ya Rabb, beri kami kesempatan untuk dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Ya Allah, jadikan hati kami condong kepada kebaikan dan selalu terpelihara dari hal-hal yang mengotorinya” htt://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Sang Pembuka”
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa surah al-Fatihah merupakan surah pembuka seluruh kandungan Al-Qur’an (dari surah al-Baqarah hingga al-Nas). Refleksi kali ini akan mengulas surah pertama ini. Saya menyebutnya dengan ‘Sang Pembuka’. Tentu saja yang saya maksud bukan Allah. Al-Fatihah, yang terdiri dari tujuh (7) ayat itu benar-benar menjadi “pembuka” isi dan kandungan Kitabullah yang mulia. Ayat pertama dibuka dengan menyebut nama Allah. Artinya, aktivitas apapun, dan dalam situasi bagaimanapun Allah harus “disertakan” dalam setiap langkah dan sendi kehidupan seorang Mukmin. Saya juga berasumsi bahwa sifat Rahman dan Rahim Allah itu lah yang menjadikan umat Islam mendapatkan kehormatan berupa Al-Qur’an. Kita tidak dapa membayangkan, seandainya umat Islam tidak memiliki Al-Qur’an. Ayat kedua menjelaskan bahwa sejatinya “pujian” itu hanyalah milik Allah, penguasa seluruh alam: alam ghaib (jin, setan, dan malaikat) maupun alam syahadah/nyata (manusia, hewan dan tumbuhan). Seluruh pujian hanyalah milik-Nya. Maka sejatinya tidak layak seorang manusia ingin “dipuji” apalagi “dipuja”. Rasa ingin dipuji, disanjung dan diagungkan adalah tidak baik. Dan itu biasanya menimbulkan rasa ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri), sum‘ah (ingin didengar oleh orang banyak) dan akhirnya takabbur (sombong). Kasih dan sayang Allah kembali dipertegas oleh Allah dalam ayat ketiga. Agar umat Islam ingat bahwa kasih dan sayang Allah tidak tidak terbatas. Lihatlah bagaimana Allah memberikan rezki kepada segenap makhluk-Nya. Dia tidak pernah pilih kasih. Orang kafir, binatang halal maupun haram, bahkan orang atheis sendiri pun diberi rezki oleh-Nya. Tapi menurut para ulama, tidak semua yang dikasihi oleh Allah disayang oleh-Nya. Karena sayang (rahim) adalah ‘anugerah spesial’ untuk orang-orang beriman di surga-Nya nanti. Jangan dilupakan… Ada satu kaidah penting dalam surah yang mulia ini. Allah menjelaskan bahwa jika ingin ditolong oleh-Nya, tugas utama kita adalah beribadah dengan baik dan benar. Oleh karena itu kata ibadah (iyya kana‘budu) didahulukan dari kata minta tolong (waiyya kanasta‘in). Jika pertolongan Allah ingin terus menyertai kita syaratnya adalah “ibadah” yang baik dan benar: penuh kekhusyukan dan penuh keyakinan. Dalam beribadah dan memohon pertolongan kepada Allah sering dilanda penyakit futur (lesu setelah semangat dalam ibadah dan amal). Oleh karena itu, Allah memberikan doa yang sangat dahsyat, “Ihdinas shirathal mustaqim” (‘Tujukilah kami jalan-jalan keistiqamahan). Ya, konsistensi beribadah dan memohon kepada Allah itulah yang perlu dibina dan dipertahankan. Jadi, bukan hanya “jalan yang lurus”, tapi konsistensi juga perlu diminta dari Allah SWT. Agar ibadah kita tidak sia-sia dan permohonan kita senantiasa dikabulkan. Dengan istiqamah itu, Allah menginginkan agar berada ‘satu rel’ dengan orang-orang yang terus diberi kenikmatan oleh Allah. Dan agar kita jangan terjebak kepada prilaku orang Yahudi yang dimurkai oleh Allah serta orang Nasrani (Kristen) yang sudah dinyatakan sesat oleh-Nya. Subhanallah! Itulah kunci-kunci pembuka yang diajarkan oleh Allah lewat surah al-Fatihah yang mulia ini. Oleh karena itu, Kanjeng Nabi SAW menjelaskan tentang keutamaan surah ini. Seorang sahabat, Jabir ibn ‘Abdullah pernah menuturkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Wahai Jabir ibn ‘Abdullah, maukah engkau aku beritahu satu surah Al-Qur’an yang terpilih (karena banyak kebaikannya)? Ya, mau Rasulullah. “Itulah Alhamdulillahi rabbil ‘Alamin, beliau membacakannya sampai akhir. (HR. Ahmad). Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca ‘Induk Al-Qur’an’ (al-Fatihah) maka shalatnya tidak sempurna –diulangi sampai tiga kali oleh Rasulullah SAW. “Ya Allah, bukalah qalbu kami lewat surah pembuka Kitab-Mu. Agar hati kami mudah menerima cahaya Al-Qur’an. Berilah kami jalan-jalan keistiqamahan. Agar ibadah dan permohonan kami tidak ‘menggantang asap’. Kami ingin menjadi hamba-Mu yang benar-benar taat. Tidak seperti kedua umat-Mu yang terdahulu” (Medan, Senin: 5 Nopember 2007) http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Kewajiban Lebih Banyak Daripada Waktu”
Semoga judul refleksi kali ini tidak membuat ‘nafas’ pembaca tersengal-sengal. Saya juga tidak bermaksud untuk membuat ‘lelah’ jiwa Anda semua. Demikianlah adanya. Ini adalah satu realitas hidup. Dimana kita hidup dalam ‘lingkaran waktu’ yang sangat terbatas. Orang Arab menyatakan, “Al-Wajibat aktsaru minal Awqat” (‘Kewajiban kita lebih banyak dibandingkan waktu yang tersedia’). Ini perlu direnungkan. Prinsipnya adalah “menghargai” waktu. Bagaimana waktu yang singkat ini dapat di-manage sedemikian rupa, agar benar-benar terinvestasi dengan baik. Pernah Anda mendengar orang yang mengeluh ketika mendengar seruan azan? “Aduh, kok cepat sekali sih azan Maghribnya!” kata seorang teman saya. Apa yang dia katakan adalah benar. Kenapa? Karena dia melaksanakan shalat Ashar pada pukul 18.00 WIB, sementara shalat Maghrib pukul 18.15 WIB. Bagaimana tidak cepat waktu itu. Di sisi yang lain, ada teman yang mengeluhkan waktu karena dia merasa kekurangan. “Waduh, mana pekerjaan belum selesai lagi,” keluhnya kesal ketika lonceng berbunyi dan tugas dia belum selesai tapi harus diantar ke meja dosen. Kewajiban “lebih banyak” dari waktu…. Rasulullah SAW adalah orang yang sangat mengerti ‘kaidah’ itu. Jika berjalan, menurut para sahabatnya, seolah-olah bumi ini digulirkan untuk beliau. Karena sanking cepatnya beliau berjalan, seolah-olah ada urusan penting yang harus segera diselesaikan. Kanjeng Nabi SAW tidak pernah terlihat tenang. Dia terus memikirkan Islam. Memikirkan umat ini. Beliau terus mencari ‘celah’ untuk menyampaikan dakwahnya kepada umat manusia. Bahkan, menjelang wafatnya yang dia ingat bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa selain “ummati, ummati”, umatku, umatku. Ya Rasulullah, semoga shalawat dan salam Allah tercurah kepadamu selalu. Kaidah penting itu sering kita ubah dan kita balik. Kita merasa waktu ini begitu panjang dan banyak. Maka kita pun selalu berleha-leha. Pekerjaan yang menumpuk biasanya ‘dapat’ kita selesaikan lewat sistem “SKS” (Sistem Kebut Semalam). Tentu saja hasilnya tidak akan maksimal. Karena kita anggap waktu kita banyak, maka yang terjadi adalah penundaan amal. Shalat diakhirkan, karena –menurut kita–waktunya masih panjang. Bayar hutang ditangguhkan, karena kita ‘yakin’ dapat hidup kita 1000 tahun lagi. ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz pernah tidak jadi istirahat, karena ditegur oleh anaknya. Ketika ingin merebahkan tubuhnya di atas dipan, anaknya bertanya, “Ayahanda, kenapa istirahat?” “Ia, tubuh ayah lelah sekali setelah seharian keliling melihat aktivitas dan keadaan umat ini,” jawab ‘Umar dengan mantap. “Ayah, cepat bangun dan keliling lagi. Lihat urusan umat!” kata anaknya. “Ayah mau rehat sebentar saja, setelah itu baru keliling lagi,” jawab ‘Umar. Apa kata anaknya kemudian? “Apakah ayah bisa menjamin katika ayah bangun masih hidup dan bisa melihat urusan umat Islam?” ‘Umar terperanjat mendengar pertanyaan anaknya ini. Dia langsung melompat dan memakai gamisnya kembali untuk keliling melihat keadaan umat Islam. Subhanallah! Dimana posisi kita dibanding khalifah yang mulia itu? Sungguh, pekerjaan dan tugas kita untuk umat ini lebih banyak dibanding waktu yang disediakan oleh Allah. Semua itu butuh manajemen yang baik dan rapi. Jika kita, kita tidak akan pernah menghargai waktu yang ada. Allah sudah menggariskan bahwa manusia –siapapun orangnya–akan merugi, jika hari-harinya selama di dunia ini tidak diisi dengan: [1] peningkatan iman kepada Allah; [2] beramal saleh. Amal yang baik untuk kemaslahatan agama (Islam), keluarga, bangsa dan negara bahkan untuk dunia; [3] saling menasehati dalam menapaki ‘rel’ kebenaran; dan [4] saling menasehati dalam menetapi kesabaran. (Qs. al-‘Ashar: 1-3). Dakwah Islam butuh orang-orang yang menghargai waktu. Pekerjaan butuh waktu yang di-manage dengan baik dan rapi. Amal kita pun butuh disediakan waktu yang cukup. Sekarang kita baru sadar, bahwa sudah banyak waktu yang kita hamburkan. Sekarang kita baru tahu, bahwa kewajiban kita seabrek. Sementara waktu hanya 24 jam saja yang disediakan oleh Allah. Itu belum dipotong waktu untuk mandi, makan, minum dan istirahat. Semoga Anda setuju dengan refleksi ini. Wallahu a‘lamu bi al-shawab.[] “Ya Allah, jadikankah kami orang-orang yang sadar akan waktu. Bimbing kami agar terus dapat istiqamah beramal. Semoga waktu yang singkat di dunia ini menjadi waktu yang bernas, full dengan amal, penuh dengan kesalehan dan sarat ibadah kepada-Mu” (Medan, Minggu: 04 Nopember 2007) http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Si Supak, Si Botak, Si Buta”
Kali ini saya ingin menyampaikan cerita Kanjeng Nabi SAW. Beliau berkisah tentang tiga orang di kalangan Bani Israil: Si Supak, Si Botak dan Si Buta. Abu Hurairah ra menyampaikan kisah ini dari kekasihnya (baginda Rasul SAW) seperti yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi SAW berkisah, “Ada tiga orang di kalangan Bani Israil: Si Supak (Kusta), Si Botak dan Si Buta. Allah ingin menguji mereka, lalu mengutus seorang malaikat kepada mereka bertiga. Pertama dia mendatangi Si Supak, “Apa yang engkau cintai?” tanyanya. “Warna kulit yang baik dan kulit yang bagus dan hilang daripadaku penderitaan yang telah membuat jijik manusia ini,” jawabnya. Malaikat tersebut mengusap kulitnya, lalu hilanglah penyakit kustanya. Dia kemudian diberikan warna kulit yang baik dan bagus. Malaikat bertanya kembali, “Harta apa yang engkau sukai?” “Onta”, jawabnya singkat. Dia kemudian diberi seekor onta betina (yang masih muda dan hamil). “Semoga Allah memberikan berkah lewat onta ini,” doa malaikat. Kemudian sang malaikat mendatangi Si Botak dan bertanya, “Apa yang engkau inginkan?” “Aku ingin memiliki rambut yang bagus dan hilang dariku derita yang membuat orang-orang mengejekku (karenanya),” jawab Si Botak. Malaikat tersebut mengusap kepalanya. Kepalanya kemudian ditumbuhi rambut yang bagus. “Harta apa yang paling engkau sukai?”, tanya malaikat. “Sapi”, jawab Si Botak. Lalu ia diberi seekor sapi betina yang sedang hamil. “Semoga Allah memberkatimu lewat sapi ini,” doa malaikat. Kemudian malaikat tersebut mendatangi Si Buta dan bertanya, “Apa yang engkau inginkan?” “Aku ingin Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga aku dapat melihat orang banyak,” jawabnya. Kemudian sang malaikat menyentuh matanya dan Allah mengembalikan pandangannya. “Harta apa yang engkau inginkan?” tanya malaikat lagi. “Kambing” jawabnya. Kemudian dia diberi satu ekor domba yang mau melahirkan. Masing-masing dari “onta”, “sapi” dan “domba” akhirnya beranak-pinak. Si Supak memiliki satu lembah onta; Si Botak mempunyai satu lembah sapi dan Si Buta memiliki satu lembah domba. Kemudian, menurut Nabi SAW, malaikat tersebut menyamar menjadi seorang yang miskin dan mendatangi satu persatu ketiga orang itu. “Aku ini orang miskin. Bekal perjalananku sudah habis. Tidak ada yang mampu mendengar ini kecuali Allah, kemudian engkau,” rintah malaikat. “Demi Allah yang telah menganugerahkan kepadamu kulit yang bagus, kulit yang baik dan harta. Aku mohon agar engkau memberiku satu ekor onta untuk dapat aku jadikan bekal perjalananku ini.” Si Kusta menjawab, “Banyak sekali kewajiban yang harus dikeluarkan.” “Aku sepertinya menganalmu,” kata malaikat itu. “Bukankah engkau yang terkena penyakit kusta itu. Yang manusia jijik melihatmu. Engku adalah fakir, lalu Allah memberikanmu harta yang banyak,” kata malaikat. “Oh, tidak. Harta ini aku warisi turun-temurun dari nenek moyangku,” jawab Si Supak itu dengan angkuh. “Jika engkau berdusta, maka Allah akan mengembalikanmu kepada keadaanmu semula,” kata malaikat geram. Kemudian dia mendatangi Si Botak dan bertanya seperti kepada Si Supak. Si Botak pun memberikan jawaban yang sama. “Jika engkau berbohong, maka Allah akan mengembalikanmu seperti semula,” kata malaikat itu. Terakhir, dia mendatangi Si Buta dan berkata, “Aku ini orang miskin, ibnu sabil. Bekal perjalanku sudah habis. Tidak ada yang mampu menyampaikan bekal perjalananku kecuali Allah kemudian engkau. Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatanmu, aku mohon agar engkau memberiku seekor domba sebagai bekal perjalananku.” Si Buta kemudian berkata, “Aku dulu memang buta. Kemudian Allah mengembalikan penglihatanku. Ambillah domba-dombaku sesukamu dan sisakanlah sesukamu. Demi Allah, aku tidak akan meminta apa yang telah aku ambil hari ini untuk Allah.” “Tidak usah. Pegang saja hartamu. Kalian sebenarnya sedang diuji. Allah ridha kepadamu dan Dia murka kepada dua orang temanmu itu,” jelas malaikat. Luar biasa kisah ini. Menakjubkan, menggugah dan mendebarkan. Kisah ini menyindir fenomena masyarakat Muslim secara keseluruhan. Kemungkinan besar kita adalah Si Supak dan Si Botak itu. Sangat kecil sekali kita ini menjadi Si Buta. Begitu banyak anugerah dan nikmat Allah yang belum kita syukuri. Lihatlah orang-orang yang kaya raya itu. Berapa mereka mau mengeluarkan zakat? Lihatlah dan rogohlah kantong kita. Seberapa sering kita mau berinfak dan besedekah? Sangat jarang sekali. Kita masih menganggap bahwa kebutuhkan kita banyak, melimpah bahkan merasa masih kekurangan. Ketika kenikmatan melimpah-ruah dalam hidup kita, ‘Sang Pemberi Nikmat’pun hilang dari file kepala kita. Ketika diberi kenikmatan yang banyak: sehat, istri salehah, suami alim, anak-anak yang taat, keluarga yang tentram, dlsb, kita malah melupakan ‘Sang Pemberi’ segala kenikmatan itu. Sebaliknya, ketika kita susah kata “Allah” hadir di setiap sendi kehidupan kita. Kita selalu bersikap hipokrit memang. Semestinya Allah itu ada dalam lubuk hati kita, kapan dan dimana saja. Dia harus tetap ada dalam sanubari ini, dalam situasi dan kondisi apapun. Agar apa? Agar kita tidak menjadi ‘lupa kacang akan kulit’nya. Semoga kisah ini menjadi “teguran” buat hati kita. Amin.[] “Ya Allah, jadikanlah nikmat-nikmat-Mu menjadi ‘penegur’ kami, bahwa kami membutuhkan-Mu. Jadikanlah segala karunia-Mu sebagai ‘pengingat’ kami, bahwa kami tidak ada apa-apa di hadapan-Mu. Kami ini hamba-Mu yang miskin, fakir, papa dan tak memiliki apa-apa” (Medan, Sabtu: 03 Nopember 2007)
<<Kembali ke posting terbaru
|