Saturday, August 16, 2008

Musim “Menghujat” Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi, ‘cultural product’. Al-Qur’an itu “tidak sacral”. Al-Qur’an itu “bias gender”. Al-Qur’an itu “karya” Muhammad. Al-Qur’an adalah proyek segi-tiga: Allah, Jibril dan Muhammad. Al-Qur’an “tidak” universal. Al-Qur’an sarat “budaya Arab” abad ketujuh. Dan...dan...dan...

Itu hanya segelintir “penghujatan” terhadap kitab suci Al-Qur’an Al-Karim. Menghujat hal-hal yang “sakralitas” sekarang ini menjadi tren tersendiri. Bahkan, penghujatan dianggap sebagai satu ‘kepuasan’ batin. Maka, para penghujat merasa tak sempurna hidupnya sebelum menghujat Al-Qur’an.

Mohammed Arkoun menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada bukan Al-Qur’an seperti yang ada di Lauh Mahfuzh. Bahkan Al-Qur’an sekarang dijadikan “Korpus Resmi Tertutup” (Closed Official Corpus) oleh khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan. Dengan begitu, kita tak bisa lagi ‘mengutak-atik’nya. Makanya Arkoun menyesalkan: mengapa para sarjana Muslim tidak mau mengikuti apa yang telah dilakukan umat Kristen –mengkritik—terhadap Bible mereka.

Nasr Hamid Abu Zaid dari Mesir, menyatakan bahwa Al-Qur’an itu “produk budaya” (muntaj). Maka, teksnya menjadi “teks manusiawi” (al-nash al-insani). Al-Qur’an pun tidak pure transenden karena sudah masuk ke dalam ruang budaya. Maka muncullah teorinya tentang “historisitas teks Al-Qur’an” (tarikhiyyat al-nash). Al-Qur’an menjadi sama dengan teks-teks lainnya, seperti Bible. Sama-sama dipengaruhi oleh sejarah.

Di Indonesia, pemikiran kedua orang liberal di atas diagungkan. Meskipun mereka sendiri tak kritis melihat sumber pemikiran mereka. Semuanya menjadi taken for granted. Dan sekarang berjalan secara alami, tanpa beban dan (tanpa) hambatan.

Maka tak heran jika ana negeri ini banyak yang “menghujat” Al-Qur’an. Metode hermeneutika ditampung dan coba diaplikasikan begitu saja. Karena mereka menganggap Al-Qur’an tak jauh beda dari Bible. Apa salahnya hermeneutika? Atau apa salahnya jika ia datang dari Barat? Apakah tidak bisa kita ambil yang “baik” dari Barat? Tentu saja tidak salah jika hal itu “cocok” dan tepat untuk diterapkan. Tapi, apakah “kecocokan” itu sudah diuji secara kritis?

Sampai hari ini problem Al-Qur’an belum didiagnosa sepenuhnya. Jadi belum ada alasan yang tepat untuk memberikan ‘obat’ –seperti— hermeneutika itu. Bukankah sampai hari ini metode tafsir merupakan metode yang sudah “mapan”. Bahkan sudah berkembang begitu baik dan luar biasa. Apa yang salah dengan tafsir?

Al-Qur’an itu delicated juga dinyatakan dengan vulgar di Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan bahwa cerita dalam Al-Qur’an tak masuk akal bahkan “lucu”. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an selalu dibandingkan dengan kisah-kisah dalam Bible. Akhirnya disimpulkan bahwa kisah dalam Bible lebih “apik”: naratif dan teratur. Padahal, menurutku, orang-orang semacam ini hanya jeli mengkritik Al-Qur’an tapi ‘tak berani’ mengkirik Bible. Begitupun berani menyimpulkan bahwa Al-Qur’an memang “problmatis”. Na’udzi billah min dzalik!

Menurut orang-orang itu, mengkritik Al-Qur’an adalah “keharusan”. Karena ia menjadi syarat kemajuan. Kristen pun dulu seperti itu, kata mereka. Mereka berani mengkritik Bible. Menafsir ulang Bible lewat hermeneutika membawa mereka kepada kemajuan. Aku terkadang “bingung”. Kemajuan apa sebenarnya yang dicapai oleh Kristen setelah mengkritik kitab suci mereka itu. Yang aku tahu justru orang-orang Kristen “kebingungan”, karena ternyat kitab suci mereka banyak masalahnya.

Sehingga ada yang sampai bertanya: Who wrote the Bible? Mereka tidak tahu lagi siapa “penulis” Bible itu. Artinya, Bible memang bukan God’s word, bukan firman Tuhan. Meskipun aku tidak setuju, karena masih ada firman Tuhan di dalamnya, walaupun “sedikit”. Makanya Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya The Bible, The Qur’an and Science menyimpulkan bahwa dalam Bible banyak pertentangan (contradictions). Apalagi jika dia dikaitkan dengan science, menjadi makin “amburadul”.

Maka sangat konyol jika ada yang mempertanyakan: siapa yang mengarang Al-Qur’an? Padahal jelas-jelas Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu “tanzil”. Ia diturunkan dari sisi Allah lafzhan wa ma’nan “sekaligus”. Maknya tidak ada pertentangan. Untuk itu Allah pun menantang orang-orang yang tidak meyakini kebenaran kitab-Nya ini dalam surah al-Nisa’: ‘Afala yatadabbaruna al-Qur’an, walau kana min ‘indi ghayrillah lawajadu fihi ikhtilafan katsiran’.

Oleh karenanya, banyak orang yang mencoba “menguji” fakta firman Allah itu. Hasilnya? Luar biasa. Mereka begitu terkagum-kagum dengan Al-Qur’an. Akhirnya mereka merefleksikan kekaguman mereka dalam buku-buku. Khurraman Murad menulis Way to The Qur’an. Ahmad von Denffer mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dalam An Introduction to the Sciences of the Qur’an. Dr. Garry Miller tak sanggup menahan kekagumannya terhadap Al-Qur’an dalam The Amazing Qur’an.

Apa yang mereka tulis benar-benar mengagumkan. Dan itu justru yang membawa umat Islam kepada kemajuan. Budaya “menghujat” sejatinya mengindikasikan inferiority complex atau al-hazimah al-nafsiyyah. Terlalu silau dengan “budaya” orang lain ternyata banyak membuang energi. Padahal mereka pun belum sepenuhnya tahu apa yang mereka inginkan dari “menghujat” sakralitas Bible mereka. Dan inferiority complex memang tak pernah membawa kemajuan. Hanya “mengekor”: sama-sama ingin menghujat, tapi tidak paham kenapa dia harus “menghujat”. Alih-alih menghujat biasanya menuai “hujatan”.

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)