Monday, November 19, 2007

“Dari Abu Hayyan al-Tawhidi”

Alhamdulillah, hari ini (Selasa, 20/11/2007) saya mendapat nikmat yang luar biasa dari Harunan Rasyid. Dia baru saja menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar, Kairo. Dia memberikan majalah favorit saya, Majalah Al-Azhar. Majalah ini terbit setiap bulan di Mesir. Dan saya hampir tidak pernah absen untuk membelinya.

Dalam rubrik Tharâ’if dan Mawâqif saya membaca kalam hikmah dari Abu Hayyan al-Tawhidi. Oleh karena itu, saya ingin mengulasnya menjadi sebuah artikel sederhana dalam catatan refleksi kali ini.

Dalam kalam hikmahnya Abu Hayyan bertutur:

{*} Haram bagi qalbu yang diterangi oleh cahaya Ilahi untuk berpikir di luar keagungan Allah.

{*} Haram bagi “lisan” yang terbiasa zikir kepada Allah untuk ‘zikir’ kepada selain Allah.

{*} Haram bagi yang belum melihat kebaikan, kecuali berasal dari Allah, untuk bersikap loba (tamak) terhadap selain Allah.

{*} Haram bagi yang merasakan ‘lezatnya’ munajat kepada Allah untuk bermunajat kepada selain Allah.

{*} Haram bagi yang dimuliakan oleh service Allah untuk ‘tunduk-bersimpuh’ kepada selain service Allah.

{*} Haram bagi yang bersikap “lembut” (hangat) kepada Allah untuk bersikap lembut (hangat) kepada selain Allah.

Subhanallah! Luar biasa. Benar-benar kalam hikmah yang luar biasa. Menggugah dan inspiring. Jika kita hampiri kalam al-Tawhidi ini, kita akan menemukan betapa dalam sindiran yang dikandungnya. Al-Tawhidi ingin menjelaskan kepada kita bahwa itulah realita manusia. Bisa jadi kita termasuk di dalamnya.

Lupa Keagungan Allah…

Itulah kebiasaan buruk kita. Kita lupa bahwa Allah sudah menjelaskan di dalam kitab-Nya (Al-Qur’an) bahwa DIA itu Maha Agung. Setiap selesai membaca kitab-Nya kita selalu mengakhirinya dengan shadaqallahu al-‘Azhim, ‘Maha Benar Allah (yang Maha Agung) dengan segala firman-firman-Nya’. Tapi ironi. Kita jarang sekali merasakan keagungan-Nya. Bibir sudah capek, komat-kamit, membaca Al-Qur’an, tapi qalbu kita terus gersang. Kenapa? Mungkin kita belum terbiasa untuk merasakan cahaya Ilahi yang masuk ke dalam qalbu kita. Sehingga qalbu kita masih saja ‘kering-kerontang’. Bahkan –bisa jadi–lesu dan akhirnya mati. Na‘udzu billahi min dzalik. Ini hukumnya ‘haram’ kata al-Tawhidi.

Zikir untuk Musuh-musuh Allah…

Pernahkah kita berzikir untuk Allah? Jawabanya bisa “ia” bisa “tidak”. Semoga saja “ia”. Kita harus jujur, kita lebih sering ‘zikir’ untuk selain Allah. Kita zikir untuk anak-anak, istri, kebun, ternak, pekerjaan, kantor dan ladang serta tanaman kita. Kita lupa untuk zikir kepada yang memberikan itu semua. Kita terbiasa untuk mengingat kehidupan, tapi selalu melupakan kematian. Kita kejar dunia yang fana, kita lupakan kehidupan abadi kita. Kita berlomba-lomba untuk membangung ‘istana duniawi’, tapi sering menghancurkan ‘istana keabadian’ di sisi Allah sana. Inilah sindiran Abu Hazim kepada Sulaiman ibn ‘Abd al-Malik ketik bertanya kepadanya. Kita lupa bahwa zikrullah itu penentram hati, penenang jiwa. Zikir itu adalah “Tombo Ati”. Lalu kenapa kita malah zikir untuk selain-Nya?

Loba (Tamak)…

Kita terkadang melebihi binatang ternak. Kita lebih rakus dari sapi. Kita lebih buas dari singa. Kita lebih bejat dari anjing. Kita loba terhadap kehidupan duniawi. Sebaliknya, qalbu kita ‘miskin’ terhadap segala yang berbau ukhrawi. Akhirnya, kita meninggalkan Allah secara perlahan-lahan. Pada gilirannya, kita malah membuat ‘tuhan-tuhan’ baru di lubuk hati kita. Tuhan sudah kita marginalkan. Menyedihkan. Memalukan sekaligus memilukan.

Munajat Untuk Makhluk…

Munajat kepada Allah itu ‘lezat’, nikmat dan sangat berkesan. Kalau bisa, munajat itu membangun konsistensi qalbiyah. Agar kenikmatan dan kelezatan munajat kepada Allah itu tidak mudah dipalingkan kepada selain-Nya. Realitnya memang demikian. Kita sering ‘mengadu’: bersimpuh, merintih, bahkan meradang di hadapan ‘tuhan-tuhan’ versi kita. Padahal ‘tuhan-tuhan’ itu tidak dapat memberikan manfaat dan tak mampu mendatangkan bahaya apapun kepada kita.

Menjadi Budak Makhluk…

Lebih mulia menjadi hamba Allah. Sadar akan kekurangan diri adalah kunci ketundukan kepada Sang Khaliq. Kita sering diperbudak oleh ‘rayuan-gombal’ makhluk-makhluk Allah. Kita ingin terus di-service oleh para makhluk. Padahal, tidak ada pelayanan yang lebih baik dari pelayanan Allah. Kapan dan di mana saja, Allah siap menjadi ‘pelayan’ kita. Kuncinya di kita. Paradoks memang. Di satu sisi kita sadar bahwa pemberi nikmat dan kemuliaan Allah. Di sisi lain kita malah ‘bersyukur’ kepada selain-Nya. Kita bahkan ‘tega’ dan ‘nekat’ untuk memuliakan orang, benda, pihak, instansi dan organisasi yang –menurut kita–telah banyak mengangkat ‘derajat’ kita. Nikmat Allah hilang dari file-syukur kita. Mind-set sudah menyatakan bahwa Allah itu tidak ada apa-apanya. Acuh tak acuh terhadap keadaan kita. Tapi cobalah pikirkan! Siapa sebenarnya yang acuh tak acuh dan bersikap masa bodo bahkan cuek-bebek. Kita atau Allah?

‘Bermesraan’ dengan Makhluk…

Menyedihkan orang yang berbuat seperti itu. Allah yang menciptakan kita. Sejak kita belum ada sampai ada, semuanya adalah sikap lembut dan kasih sayang Allah kepada kita. Kita sering “arogan”, emosional, bahkan ‘jengkel’ kepada Allah. Kita lebih suka untuk ‘bermesraan’ dan bersikap ‘sopan’ kepada makhluk-makhluk ciptaan Allah. Terbalik. Kita selalu bersikap oportunis. Memuakkan memang. Tapi itulah realitanya. Kita sering melupakan kasih sayang Allah, untuk meraih kasih sayang selain-Nya. Allah itu Maha Lembut. Allah itu al-Rahmân dan al-Rahîm. Berapa banyak kita menyadari hal itu?

(Medan, Selasa: 20 Nopember 2007)

[(http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com)]

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)