Wednesday, November 21, 2007

“Zuhud: ‘Meraih Cinta Allah dan Cinta Manusia”

“Zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan dicintai oleh Allah. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka akan mencintaimu.”

Itu lah resep yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu al-‘Abbas ibn Sa‘d al-Sa‘idî. Dia menuturkan bahwa seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai nabiyallah, tunjukkan kepadaku satu amalan. Jika aku mengerjakannya, aku dicintai oleh Allah dan manusia.” Maka Nabi SAW memberikan resep di atas: “zuhud”.

Pembagian Zuhud…

Menurut Abdul Malik Al-Qasim dalam bukunya Al-Daqâ’iq Al-Mumti‘ah (Detik-Detik Penuh Makna: Ragam Kisah Sarat Hikmah, AQWAM, 2007) zuhud itu terbagi menjadi tiga:

Pertama, zuhud yang wajib dilakukan setiap orang Muslim, yakni zuhud dari perkara yang haram. Jika seseorang melakukan yang haram, penyebab siksaan akan terwujud. Faktor yang menyebabkan siksaan mesti ada, selagi penyebab lain yang berlawanan belum terwujud.

Kedua, zuhud yang dianjurkan (sunnah). Dalam hal ini, zuhud tergantung pada tingkatan anjurannya dan sesuai dengan sesuatu yang dizuhudkan itu. Zuhud di sini adalah zuhud dari hal yang makruh, berlebihan dalam mengonsumsi hal yang mubah, dan memperturutkan keinginan nafsu syahwat yang diperbolehkan.

Ketiga, zuhud orang-orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam menapaki jalan menuju Allah SWT. Perlu diketahui, zuhud terhadap dunia bukan berarti sama sekali tidak mempedulikannya, tidak juga berpangku tangan maupun tak acuh. Namun, yang dimaksud dengan zuhud di sini ialah mengosongkan unsur dunia dari hati secara keseluruhan. Ia sama sekali tidak peduli dengannya. Selain itu, ia juga tidak membiarkan dunia menguasai hatinya, meskipun dunia berada dalam genggamannya.

Zuhud Bukan Menolak ‘Dunia’…

Ya, itulah hakikat zuhud. Ia bukan menolak kenikmatan duniawi. Zuhud tidak boleh diartikan ‘macam-macam’. Harus ada ilmu tentang zuhud, baru boleh berbicara tentang zuhud. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Banyak sekali orang berbicara tentang zuhud. Semua berbicara tentang pengalamannya, kondisi dan keadaannya. Orang-orang lebih mengunggulkan berbicara mengenai kondisi pengalamannya. Padahal, berbicara atas dasar ilmu lebih luas dan lebih tepat daripada berbicara dengan dasar pengalaman. Selain itu, lebih tepat dari sisi hujah dan penjelasan.”

Kemudian, Ibnu Qayyim mengutip pendapat gurunya, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. “Saya pernah mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan, ‘Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang kamu takutkan bahayanya pada hari kiamat.” Itulah ilmu zuhud. Jadi, zuhud jangan disalahfahami dahulu. Banyak orang memang salah faham tentang ini. Zuhud bukan berarti miskin, melainkan hidup apa adanya alias qana‘ah. Sehingga, hidup ini selalu ‘puas’ dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT.

Lihatlah para sahabat, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, ‘Utsman ibn ‘Affan, dsb. Bahkan, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf adalah sahabat yang sangat kaya. Tapi kekayaannya membuat dia ‘takut harta’. Biarkan harta melimpah dalam genggaman kita, tapi jangan sampai ‘menimbun’ dan ‘menguruk’ mata hati kita. Itulah zuhud.

Dengan mensyukuri nikmat Allah apa adanya, Allah akan mencintai kita. Dengan tidak loba (tamak) terhadap harta orang lain, kita akan dicintai oleh orang banyak.

(Medan, Rabu: 21 Nopember 2007)

([http://alqassam.wordpress.com / http://qosim-deedat.blogspot.com])

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)