Wednesday, November 28, 2007

‘Lapar’ Hati

Apakah hati bisa ‘lapar’? Pertanyaan ini mungkin agak sedikit menggelikan. Tapi itulah realitanya. Bahwa hati ternyata bisa ‘lapar’. Saya ingin membuktikan hal itu dengan hasil bacaan saya dalam satu suplemen majalah NOOR.

Dalam suplemen itu dicatat bahwa “makanan sering dijadikan pelampiasan emosi saat stress, frustasi, jengkel, dll. Berdasarkan penelitian, secara alamiah seorang akan memilih makanan yang renyah (kacang, crakers), kenyal (siomay, permen, jelly) dan bertekstur (pizza, crepes, burger) saat sedang lapar emosional. Atau makanan lembut (es krim, keju, pasta), menenangkan (bolu, pudding, pie) atau yang penuh memori (risoles, roti isi cokelat, gulali), saat sedang lapar hati (perasaan hampa, resah, bosan, lelah, kesepian).

Untuk 2 jenis kelaparan ini (lapar emosional dan lapar hati_red), sebaiknya yang diperbaiki adalah kondisi emosionalnya, agar keinginan makan, yang tidak perlu, menjadi berkurang. Misalnya dengan banyak bersedekah dan berzikir”.

Itulah yang saya temukan dari suplemen tersebut. Luar biasa! Saya benar-benar inspired untuk mengulas lebih lanjut bahwa hati kita memang ada saat merasakan ‘lapar’. ‘Lapar’ hati biasanya ditimbulkan oleh pikiran yang lelah, stress, dan tertekan. Merasa teralienasi, hampa, bosan, kesal, dslb, adalah beberapa contoh penyakit yang bisa membuat hati kita ‘lapar’.

Seorang sahabat Rasulullah SAW, ‘Abdullah ibn Mas‘ud pernah bertutur, “Jika hatimu sedang ‘lapar’, berwudhulah. Jika masih merasakan resah dan gelisah, maka shalatlah. Jika masih juga merasakan hal yang sama, bacalah Al-Qur’an. Jika belum berubah juga, mohonlah kepada Allah agar memberikan ‘hati yang lain’. Karena hati yang engkau pakai, ‘bukan’ hatimu.”

Kita sendiri sering merasakan bagaimana hati kita begitu ‘lelah’ dan ‘lapar’. Menurut Imam ‘Ali karramallâhu wajhahu, hati itu ibarat jasad (tubuh). Bisa merasakan letih dan capek, bahkan lapar. Oleh karena itu beliau berpesan, “Hiburlah hati itu sesaat demi sesaat. Karena dia juga merasa ‘bosan’, letih dan capek seperti letihnya tubuh.”

Jika tubuh yang letih (karena fisik, tampak secara zahir) sangat mudah memberikan soluis dan obatnya. Ketika tubuh lapar, obatnya jelas sekali: “makanan”. Kita bisa langsung mengonsumsinya. Yang sulit adalah mendiagnosa ‘lapar’ hati ini. Terkadang kita lalai bahkan mungkin tidak sadar, bahwa hati kita sedang ‘lapar’. Sehingga kita tidak tahu harus memberikan apa untuk hati kita. Obatnya adalah ‘wisata hati’. Hati harus selalu kita deteksi. Karena dia adalah ‘raja’ jasad kita. Penyakit jasad bisa kronis, jika didukung oleh penyakit hati. Jika hati kita ‘lapar’ yang menyebabkan dia sakit, maka jasad akan ikut rusak, bahkan binasa.

Benar apa yang diusulkan oleh suplemen NOOR, bahwa kelaparan hati harus diobati (minimal) dengan dua hal: [1] sedekah dan [2] zikir. Sedekah adalah penghapus dosa-dosa kecil dan kesalahan yang kita lakukan. Dosa dan kesalahan itu adalah ‘noktah hitam’ yang menyakiti hati. Semakin banyak kita berbuat dosa dan maksiat, maka hati semakin sakit. Hati yang sakit adalah hati yang ‘lapar’. Ia harus cepat diobati, salah satunya adalah dengan memperbanyakn sedekah.

Menurut Allah di dalam Al-Qur’an, zikir itu “penentram” hati. DIA menjelaskan, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka tentram dengan zikir kepada Allah. Sungguh, hanya dengan “zikrullah” lah hati-hati menjadi tentram.” (Qs. Al-Ra‘du: 28). Oleh karena itu, Kanjeng Nabi SAW menyuruh kita agar senantiasa ‘membasahi’ lisan kita dengan zikir. “Hendaknya lisanmu selalu basah dengan zikrullah.” (HR. al-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Amatlah zalim siapa yang menyengsarakan hatinya. Sungguh berdosa orang yang melaparkan hatinya. Oleh karena itu, kita harus terus ‘mengenyangkan’ hati kita dengan memperbanyak sedekah dan zikrullah. Insya Allah, hati kita akan menjadi hati yang bersih, cemerlang dan benar-benar sensitif terhadap channel-channel kebaikan dan kebenaran. (Medan, Rabu: 28 Nopember 2007).

([http://alqassam.wordpress.com /http://qosim-deedat.blogspot.com])

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)