“Sunnah Perubahan”
Sepertinya semua orang sepakat bahwa “perubahan” (change) itu adalah satu kemestian. Bahasa Islamnya mungkin “sunnah”. Tentu saja bukan sekadar “tradisi” (tradition) melainkan sunnah. Artinya, perubahan dalam tubuh Islam merupakan hal yang inheren. Maka, ia menjadi sebuah kemestian.
Dalam Islam, perubahan (al-taghyir) identik dengan “pembaruan” (al-tajdid). Konsep taghyir ini berkaitan erat dengan usaha serius, bukan sekadar keinginan dan kemauan. Karena konsep ini benar-benar “Islami-Qur’ani”. Konsepnya dicetuskan oleh Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’an. ‘Innallah laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi’anfusihim’ (Qs. Al-Ra’du [13]: 11). Jadi, tidak ada perubahan secara instant.
Perubahan dalam Islam juga identik dengan individu dan komunal. Artinya, setiap individu harus punya pure goal (keinginan yang murni) untuk berubah ke arah kebaikan. Jika goal ini terbentuk, perubahan dapat dilakukan secara kolosal: besar-besaran atau lewat satu instansi dan komunitas.
Konsep ibda’ binafsika yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah fondasi dasar bagi setiap individu untuk melakukan perubahan. Syeikh Musthafa Masyhur sering mengungkapkan dalam Fiqh al-Da’wah-nya satu konsep Islami ini: ashlih nafsaka wad’u ghayraka’. Perbaiki dahulu dirimu (niat, tujuan dan sasaran) lalu ajaklah orang lain melakukan hal yang sama.
Dalam tafsir al-Jalalain, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan ayat di atas bahwa “Allah tidak akan mencabut nikmat-Nya dari mereka kecuali mereka merubah apa yang ada dalam diri mereka: dari satu kondisi yang baik (al-halah al-jamilah) menjadi dihiasi maksiat. Artinya, spirit perubahan itu menjadi satu kenikmatan yang luar biasa. Karena Allah meberikan jaminan di dalamnya. Jaminan untuk memberi jalan terbaik dalam rangka meraih dan mencapai kondisi yang lebih baik pula.
Syeikh Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang cukup indah. Beliau menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nikmat dan kesehatan dari satu kaum, lalu Dia menghilangkan dan menghancurkannya. Sampai mereka sendiri merubahnya: dengan cara saling menzalimi dan saling berbuat tidak adil. Juga lewat perbuatan jahat dan hal-hal yang menghancurkan dan menyuburkan kezaliman di tengah-tengah masyarakat. Yang pada gilirannya setiap komunitas “memangsa” yang lainnya, laiknya virus-virus yang menyerang manusia.
Artinya, perubahan itu tidak harus mengorbankan orang lain. Perubahan adalah demi kebaikan dan kepentingan orang banyak. Perubahan adalah lewat kejujuran dan penuh perhitungan. Perubahan yang dilakukan lewat kezaliman dan kelaliman hanya akan menuai badai kerusakan. Maka, dalam perubahan tidak diajarkan kamus ‘memancing di air keruh’. Perubahan juga tidak dapat dilakukan lewat aji mumpung: ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’. Yang jelas, perubahan tidak “menghalalkan” segala cara.
Sunnah perubahan dalam Islam itu melahirkan sikap optimis dan “dinamis”. Mental nrimo dan mengharapkan langit menurunkan “emas” adalah ilusi tak berdasar. Ini tidak sesuai dengan konsep perubahan dalam Islam. Islam mengajarkan “dinamisme” dalam kehidupan. Islam juga mengajarkan konsep ‘amal (bekerja dan beramal sesuai ilmu) juga kasab (mencari rezki secara maksimal, lewat pekerjaan yang diberikan secara profesional). Lewat konsep ini, Islam mengajarkan bahwa “dunia-akhirat” harus balance.
Suatu ketika, khalifah ‘Umar ibn Khattab masuk ke dalam masjid. Dia menemukan seorang pemuda yang sedang berdoa sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Rabb urzuqni, ya Rabb urzuqni”. Ya Allah penuhilah rezekiku, ya Allah penuhilah rezekiku. ‘Umar kemudian mengatakan: “Wahai pemuda, pergi kerja, jemput rezeki Allah. Sungguh, langit tidak akan menurunkan emas.”
Mungkin dari kita ada yang ingin menjadi pintar, maka syaratnya “perubahan”. Rubah kondisi kita yang malas menghampiri buku untuk dapat ‘bergelut’ dengan buku-buku. Orang miskin yang ingin kaya, juga harus melakukan perubahan. Mungkin ada yang salah dalam konsep mencari rezekinya selama ini. Orang yang ingin pintar tanpa belajar adalah angan-angan ngawur. Orang yang ingin kaya tanpa usaha adalah orang-orang yang salah jalur dan tak mengerti aturan dunia.
Lebih penting lagi: perubahan itu sifatnya gradual. Gradualitas perubahan ini merupakan sunnatullah. Lewat alam ini Allah mengajarkan konsep gradualitas perubahan. Dari sejak matahari terbit hingga terbenam, Allah mengajarkan konsep gradualitas. Pertumbuhan manusia, hewan dan tumbuhan juga mengindikasikan hal ini. Tidak ada yang ujug-ujug dan sim salabim langsung ada dan tersedia. Karena ini mustahil terjadi.
Dan Allah mengajarkan bahwa tidak ada yang “kekal” di dunia ini. Yang kekal adalah “perubahan” itu sendiri. Maka berubahlah. Sebelum semua kenikmatan dan kesempatan untuk berubah itu dicabut oleh Allah s.w.t. Yang tidak punya keinginan untuk berubah adalah menantang “sunnatullah”. Karena what does not change/ is the will to change. “Apa yang tidak berubah/adalah kehendak untuk berubah” kata Olson dalam The Kingfisher-nya. Maksudnya: setiap kita “wajib” berubah. [Q]
0 Comments:
Post a Comment
<<Kembali ke posting terbaru