Wednesday, August 13, 2008

Inferiority Complex

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa bangsa “terjajah” cenderung mengikuti budaya “penjajahnya”. Ini adalah realitas. Tak mungkin dipungkiri.

Dalam satu percakapan dengan kawan-kawan, aku terlibat perbincangan tentang satu hadits Nabi Muhammad s.a.w. tentang tanda-tanda hari kiamat (asyrat al-sa’ah). Salah satunya adalah: matahari akan terbit di sebelah Barat. Kataku, sekarang pun matahari sudah terbit di Barat. Berati “kiamat” sudah terjadi. “Bagaimana mungkin?” tanya kawan-kawanku spontan. Ya, bukankah sumber kehidupan itu adalah “matahari”. Artinya semua menghadap ke matahari. Bahkan Jepang disebut sebagai negara “Matahari Terbit”. Tentunya bukan karena matahari terbit dari arah Jepang, melainkan mereka mengharap ke matahari ketika melakukan ritualnya. Lihat saja lambang bendaranya: matahari. Artinya, matahari adalah sumber kehidupan.

Matahari sudah terbit di Barat. Semua gaya hidup bersumber dari Barat. Mode pakaian diadopsi dari Barat. Pergaulan muda-muda kalau bukan ala Barat terksan “kampungan” dan dianggap “norak”. Anak-anak muda yang biasa ‘bersarung’ dan “berkopiah” dianggap ketinggalan zaman. Kaum Muslimah yang mengenang kerudung dianggap “tidak gaul”. Kenapa? Karena bertentangan dengan Budaya dan Western life style, gaya hidup Barat. Barat sudah menjadi matahari sekarang.

Jadi, meskipun belum “kiamat” kiamat peradaban sudah berlaku sejak lama. Kita dijajah. Kita dibelenggu. Dan kita pun menganggap Barat sebagai matahari kehidupan kita. Akhirnya, kita tidak bisa melepaskan cengkraman kuku-kuku tajam kebudayaan dan peradaban Barat itu. Kita benar-benar “mengekor”. Kita sudah lama “terjajah”, tapi kita tak pernah sadar. Kita merasa bangga kalau sudah Westernized, sempurna terbaratkan. Bahkan kalau tidak menampilkan “aksesoris” Barat kita tidak pede untuk tampil. Benar-benar inferiority complex.

Thaha Husein dalam bukunya Mustaqbal al-Tsaqafa fi Mishr menyatakan bahwa jika kita mau “maju” wajib meniru Barat. Katanya: ‘An nasira sayra al-gharbiyyin, wa nasluka thariqahum linakuna lahum andaadan, wa linakuuna lahum syurakaa’a fi al-hadhaarah: khayraha wa syarraha, hulwaha wa murraha, wa maa yuhabbu minhaa wa maa yukrahu, wa maa yuhmadu minha wa maa yu’aabu’ (Kita harus mengikuti orang-orang Barat. Kita mesti mengikuti jalan mereka: agar menjadi tandinngan sekaligus partner dalam peradaban; baik dan buruknya, manis dan getirnya, apa yang disukai dan apa yang dibenci, apa yang dipuji dan apa yang dicela).

Husein benar-benar menganjurkan kita untuk ‘udkhulu fi suluuk al-gharbiyyina “kaaffah”. Murni Barat. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu apakah yang diusulkan oleh Husein itu sesuai untuk kita? Sebentar, lihat dulu realitas negara Mesir sekarang. Tidak jauh beda dengan kita. Dari sisi apapun dapat dikatakan “sama saja”. Apanya yang dikatakan kita harus menjadi partner dalam peradaban. Nonsene semuanya. Yang muncul justru “permissifisme” yang kebablasan.

Di Indonesis tidak usah ditanya lagi. Goyang ngebor sudah menjadi budaya. Bahkan sudah banyak parpol yang kampanya dihibur dengan para pendangdut yang serba ‘aduhai’ dan ‘gemulai’. Musik dangdut sepertinya akan menjadi menu fardhu setiap parpol dalam “meraup suara” ketika kampanye politiknya. Politik pun “dijajah” oleh permissifisme ‘kudis dan kurap’ pinggul para biduan dan artis. Luar biasa. Korban goyang ngebor sekarang merambah kepada anak-anak sekolah dasar. Tanggungjawab siapa?

Majalah-majalah yang memuat foto-foto syur para artis dan bintang filam tidak usah diperdebatkan. Bukankan majalah Playboy lolos tak terkendali. Adegan-adegan ciuman di depan kamer bukan hal yang “tabu”: sudah biasa bahkan dibiasakan.

Itu semuanya adalah potret dari inferiority complex. Meskipun orang akan berdalih macam-macam. Indonesia kalau ingin maju harus mengamalkan “sekularisme”, pluralisme dan libaralisme. Ketika disanggah, kaum liberal akan menjawab: “Kita tidak maju karena kita mengamalkan “sekularisme yang salah”. Ini benar-benar keblinger. Turki saja yang sudah sekian abad menjadi sekular kaffah tetap tidak maju.

Oleh karena itu, Dr. Riyadh ibn Muhammad al-Masiry pernah menyindir fenomena permissifisme ini dalam artikelnya: al-Khila’ah laa tashna’u majdan (Buka-bukaan tidak menciptakan kemuliaan) (http://www.almeshkat.net/index.php?pg=art&cat=5&ref=363).
Karena di negara kita sudah ada seorang Miss Universe 2008 yang menyatakan: “Masalah two pieces itu tidak menjatuhkan martabat Indonesia, malah finalis-finalis lainnya bangga. Mereka bilang Indonesia sudah maju ya, sudah pakai bikini.” (http://hidayatullah.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7358&Itemid=1). Ini benar-benar luar biasa. Apanya yang “maju”? Apakah “bikini” lambang suatu peradaban bangsa. Padahal kemajuan ini dinilai dari “moralitas”, bukan dari aksesoris duniawi per se. Aku jadi teringat tragedi runtuhnya rezim Taliban oleh Amerika. Tak berapa lama setelah kekalahannya, kondisi negara mulai berubah. Dalam satu majalah

Akhlak alias moral dalam Islam merupakan standar “kemajuan” suatu bangsa. Penghulu para penyair (Amir al-Syu’ara’) asal Mesir, Ahmad Syauqi Bek menyatakan hal ini dalah sebati syairnya: ‘Innamal umamu maa baqiyat akhlaquhum. Wa in dzahabat akhaquhum dzahabuu’. Suatu bangsa dikatakan eksis karena akhalnya. Jika akhlak itu mengalami dekandensi, maka bangsa itu diakatakan amblas tak berbekas. Amir al-Syu’ara’ benar. Dr. Iyadh al-Masiry pun tepat. Sekali lagi, ini benar-benar inferiority complex. [Q]

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)