|
|
|
|
Musim “Menghujat” Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi, ‘cultural product’. Al-Qur’an itu “tidak sacral”. Al-Qur’an itu “bias gender”. Al-Qur’an itu “karya” Muhammad. Al-Qur’an adalah proyek segi-tiga: Allah, Jibril dan Muhammad. Al-Qur’an “tidak” universal. Al-Qur’an sarat “budaya Arab” abad ketujuh. Dan...dan...dan... Itu hanya segelintir “penghujatan” terhadap kitab suci Al-Qur’an Al-Karim. Menghujat hal-hal yang “sakralitas” sekarang ini menjadi tren tersendiri. Bahkan, penghujatan dianggap sebagai satu ‘kepuasan’ batin. Maka, para penghujat merasa tak sempurna hidupnya sebelum menghujat Al-Qur’an. Mohammed Arkoun menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada bukan Al-Qur’an seperti yang ada di Lauh Mahfuzh. Bahkan Al-Qur’an sekarang dijadikan “Korpus Resmi Tertutup” (Closed Official Corpus) oleh khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan. Dengan begitu, kita tak bisa lagi ‘mengutak-atik’nya. Makanya Arkoun menyesalkan: mengapa para sarjana Muslim tidak mau mengikuti apa yang telah dilakukan umat Kristen –mengkritik—terhadap Bible mereka. Nasr Hamid Abu Zaid dari Mesir, menyatakan bahwa Al-Qur’an itu “produk budaya” (muntaj). Maka, teksnya menjadi “teks manusiawi” (al-nash al-insani). Al-Qur’an pun tidak pure transenden karena sudah masuk ke dalam ruang budaya. Maka muncullah teorinya tentang “historisitas teks Al-Qur’an” (tarikhiyyat al-nash). Al-Qur’an menjadi sama dengan teks-teks lainnya, seperti Bible. Sama-sama dipengaruhi oleh sejarah. Di Indonesia, pemikiran kedua orang liberal di atas diagungkan. Meskipun mereka sendiri tak kritis melihat sumber pemikiran mereka. Semuanya menjadi taken for granted. Dan sekarang berjalan secara alami, tanpa beban dan (tanpa) hambatan. Maka tak heran jika ana negeri ini banyak yang “menghujat” Al-Qur’an. Metode hermeneutika ditampung dan coba diaplikasikan begitu saja. Karena mereka menganggap Al-Qur’an tak jauh beda dari Bible. Apa salahnya hermeneutika? Atau apa salahnya jika ia datang dari Barat? Apakah tidak bisa kita ambil yang “baik” dari Barat? Tentu saja tidak salah jika hal itu “cocok” dan tepat untuk diterapkan. Tapi, apakah “kecocokan” itu sudah diuji secara kritis? Sampai hari ini problem Al-Qur’an belum didiagnosa sepenuhnya. Jadi belum ada alasan yang tepat untuk memberikan ‘obat’ –seperti— hermeneutika itu. Bukankah sampai hari ini metode tafsir merupakan metode yang sudah “mapan”. Bahkan sudah berkembang begitu baik dan luar biasa. Apa yang salah dengan tafsir? Al-Qur’an itu delicated juga dinyatakan dengan vulgar di Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan bahwa cerita dalam Al-Qur’an tak masuk akal bahkan “lucu”. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an selalu dibandingkan dengan kisah-kisah dalam Bible. Akhirnya disimpulkan bahwa kisah dalam Bible lebih “apik”: naratif dan teratur. Padahal, menurutku, orang-orang semacam ini hanya jeli mengkritik Al-Qur’an tapi ‘tak berani’ mengkirik Bible. Begitupun berani menyimpulkan bahwa Al-Qur’an memang “problmatis”. Na’udzi billah min dzalik! Menurut orang-orang itu, mengkritik Al-Qur’an adalah “keharusan”. Karena ia menjadi syarat kemajuan. Kristen pun dulu seperti itu, kata mereka. Mereka berani mengkritik Bible. Menafsir ulang Bible lewat hermeneutika membawa mereka kepada kemajuan. Aku terkadang “bingung”. Kemajuan apa sebenarnya yang dicapai oleh Kristen setelah mengkritik kitab suci mereka itu. Yang aku tahu justru orang-orang Kristen “kebingungan”, karena ternyat kitab suci mereka banyak masalahnya. Sehingga ada yang sampai bertanya: Who wrote the Bible? Mereka tidak tahu lagi siapa “penulis” Bible itu. Artinya, Bible memang bukan God’s word, bukan firman Tuhan. Meskipun aku tidak setuju, karena masih ada firman Tuhan di dalamnya, walaupun “sedikit”. Makanya Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya The Bible, The Qur’an and Science menyimpulkan bahwa dalam Bible banyak pertentangan (contradictions). Apalagi jika dia dikaitkan dengan science, menjadi makin “amburadul”. Maka sangat konyol jika ada yang mempertanyakan: siapa yang mengarang Al-Qur’an? Padahal jelas-jelas Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu “tanzil”. Ia diturunkan dari sisi Allah lafzhan wa ma’nan “sekaligus”. Maknya tidak ada pertentangan. Untuk itu Allah pun menantang orang-orang yang tidak meyakini kebenaran kitab-Nya ini dalam surah al-Nisa’: ‘Afala yatadabbaruna al-Qur’an, walau kana min ‘indi ghayrillah lawajadu fihi ikhtilafan katsiran’. Oleh karenanya, banyak orang yang mencoba “menguji” fakta firman Allah itu. Hasilnya? Luar biasa. Mereka begitu terkagum-kagum dengan Al-Qur’an. Akhirnya mereka merefleksikan kekaguman mereka dalam buku-buku. Khurraman Murad menulis Way to The Qur’an. Ahmad von Denffer mengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an dalam An Introduction to the Sciences of the Qur’an. Dr. Garry Miller tak sanggup menahan kekagumannya terhadap Al-Qur’an dalam The Amazing Qur’an. Apa yang mereka tulis benar-benar mengagumkan. Dan itu justru yang membawa umat Islam kepada kemajuan. Budaya “menghujat” sejatinya mengindikasikan inferiority complex atau al-hazimah al-nafsiyyah. Terlalu silau dengan “budaya” orang lain ternyata banyak membuang energi. Padahal mereka pun belum sepenuhnya tahu apa yang mereka inginkan dari “menghujat” sakralitas Bible mereka. Dan inferiority complex memang tak pernah membawa kemajuan. Hanya “mengekor”: sama-sama ingin menghujat, tapi tidak paham kenapa dia harus “menghujat”. Alih-alih menghujat biasanya menuai “hujatan”.
<<Kembali ke posting terbaru
Klasik
Klasik bisa dimaknai dengan “kuno”. Atau lawan dari “modern”. Ini makna klasik yang sangat sederhana menurutku. Sehingga orang gampang mengatakan bahwa “jawaban loe “kuno”. Wah, gaya kamu “klasik” banget sih! Jenis musik juga ada yang dinamakan classical music. Celana model ‘Cut Brai’ (ciut/kecil di bagian pinggang/ dan ngagebrai/melebar kata orang Sunda, di bagian bawahnya) juga disebut celana klasik. Perkawinan model Siti Nurbaya dianggap orang sekarang sebagai perkawinan “klasik” bin “kuno” alias ketinggalan zaman. Tentunya kata “klasik” tak bisa dimaknai sesederhana itu. Aku pun tak ingin membicarakan makna klasik secara simplistic. Aku ingi berbicara tentang makna “klasik” pada ranah yang lebih ilmiah dan scientific dan lebih menarik. Mengawali itu semua, aku ingin bermusyawarah dulu dengan The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language, (Trident Press International, 1996 Edition). Dalam kamus ini –aku pilih yang lebih tepat untuk pembicaraan ini—disebutkan di sana –beberapa maknanya—bahwa “klasik” itu maknanya: [1] Belonging to the first class or rank in the literature or art; [2] Pertaining to standard and authoritative principles and forms in art, literature, music, etc.; [3] Any author whose work is generally accepted as being a standard of excellence. Itu beberapa makna “klasik” yang sengaja aku kutip dari kamus Webster di atas. Dari sana tampak tiga hal penting yang berkaitan dengan kata ini: literatur, seni dan musik. Aku ingin mengambil yang pertama: “literatur”. Dewasa ini, segala hal yang berbau “klasik” banyak ditentang dan ditolak. Khususnya dalam bidang keilmuan dan pemikiran Islam. Ulama-ulama “klasik” (salaf, al-qudama’ atau al-mutaqaddimun) mulai banyak yang dihujat. Al-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H) dianggap dihujat. Sang Imam pun dituduh mendukung hegemoni suku Quraisy oleh Nasr Hamid Abu Zaid, misalnya. Abu Zaid begitu geram dengan ‘keilmuan’ sang “Nashir al-Sunnah” (Pembela Sunnah) itu. Tuduhan tak berdasarkan terhadap sang imam dia jejalkan di dalam buku khususnya al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aydulujiyyah al-Wasathiyyah. Hal yang sama, dilakukan oleh Zakariya Ouzon. Dia juga “menghujat” Imam Syafi’i dalam bukunya yang sangat sarat kebencian, “Jinayat al-Syafi’i: Takhlish al-Ummah min Fiq al-A’immah”. Luar biasa. Apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i –berupa ijtihad—di dalam buku al-Risalah dan al-Umm dianggap sebagai tindak “kriminal” oleh Ouzon. Alasannya sama, ijtihad Imam Syafi’i sudah “kolot” alias “klasik”. Umat perlu diselematkan dari ijtihad dan pendapat sang imam yang sangat dihormati di seluruh dunia Islam itu. Salah satu literatur klasik yang juga dituduh “memundurkan” umat adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M). Ada yang mengatakan buku itu berbahaya. Ada juga yang menilai bahwa sang Hujjat al-Islam terlalu gegabah. Bahkan ada yang menyarankan agar buku itu dicampakkan saja, karena berbahaya bagi kemajuan umat. Mereka ketakutan jika para penuntut ilmu akan menjadi “sufi” seluruhnya. Dan dikhawatirkan mereka hanya mementingkan “akhirat”. Padahal, karya al-Ghazali bukan hanyat Ihya’. Di sana ada al-Mankhul dan al-Mustashfa dalam cabang ilmu Ushul al-Fiqh. Dalam Al-Qur’an al-Ghazali punya telaah yang sangat indah dalam Jawahir al-Qur’an. Gejolak pemikirannya dapat dibaca dalam al-Munqidz min al-Dhalal. Bagaimana hebatnya beliau mengkritik para filsuf dapat dibaca dalam Tahafut al-Falasifah. Mengapa hanya Ihya’ yang ditakuti dan dijauhi? Imam Ibnu Taimiyyah, menurut penuturan Thaha Jabir al-‘Alwani, pernah dituduh “membenci” Rasulullah s.a.w. dan Ahli Baitnya oleh seorang gurunya ketika beliau masih berada di Bagdad. Al-‘Alwani sempat terlibat debat dengan gurunya itu. Kemudian, al-‘Alwani menghadiahkan karya sang Syeikh al-Islam, “al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul” (Pedang Terhunus Bagi Pencaci Rasul). Guru al-‘Alwani pun berdecak kagum dan mengakui kesalahannya. “Tidak pernah aku membaca buku yang membela Rasulullah lebih indah dan komprehensif dari buku ini,” katanya. Itu dituturkan oleh al-‘Alwani dalam bukunya ‘Ibnu Taimiyyah wa Islamiyyat al-Ma’rifah’. Imam Syafi’i, al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah adalah contoh ulama “klasik”. Buah pena mereka pun kita sebut “klasik”. Dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan turats (Inggris: heritage): khazanah Islam klasik. Mungkin karena “klasik”nya itu banyak yang menilai sudah usang. Memang, isu-isu “miring” terhadap ulama dan literatur klasik dewasa ini kembali nyaring –atau bahkan sengaja dinyaringkan. Penafsiran para ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an dianggap bias gender, misalnya oleh Aminah Wadud-Muhsin, Fatimah Mernissi dan Musdah Mulia. Ahli Kitab dalam Al-Qur’an oleh ulama klasik dianggap tidak mendapat porsi yang semestinya. Penafsiran mereka dianggap tidak adil dan berbau kekerasan. Oleh karenanya, mereka terbiasa menjadi “ekletis”. Tafsir Ibnu Katsir jang dikutip. Karena mungkin riwayatnya diseleksi dengan ketat. Al-Maraghi juga jarang ‘dilirik’. Mereka lebih suka menjadikan Syeikh Rasyid Ridha sebagai bumper kepentingan mereka. Padahal, hanya pada Qs. 2: 62 saja beliau menyatakan bahwa keimanan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dalam ayat tersebut tidak menjadi “syarat” bagi keselamatan kaum Ahli Kitab. Kemana penafsiran para ulama klasik yang lain, seperti al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Furqan, misalnya? Atau penafsiran Imam al-Biqa’i dalam Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar? Tidak dielaborasi dengan jujur. Benar-benar ekletis. Dan tentunya berbau “orientalis”. Sikap ekletik seperti itu jelas tak menguntungkan. Karena berakhir dengan prinsip ‘tebang-pilih’. Semua diatur oleh interes. Benar-benar bias Habermas. Jika semuanya diatur dalam bahasa “kepentingan”, maka tak akan lahir kejujuran. Jika kejujuran sudah sirna, tak akan pernah ada apersiasi terhadap yang berbau “klasik”. Jilbab “klasik”, tiba saatnya untuk ditinggalkan. Pergi ke masjid “klasik”, serahkan saja kepada orangtua yang sudah ‘beratap seng’. Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al-Nisaburi, al-Biqa’i semuanya “klasik”, tiba waktunya untuk mencari “ijtihad” yang berbeda dari mereka. Karena memang lebih menguntungkan. Benar, bahwa kritik terhadap ulama klasik dan khazana klasik itu penting. Tapi bukan “kritik” tanpa “etik”. [Q] Qosim Nursheha Dzulhadi
<<Kembali ke posting terbaru
Inferiority Complex
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa bangsa “terjajah” cenderung mengikuti budaya “penjajahnya”. Ini adalah realitas. Tak mungkin dipungkiri. Dalam satu percakapan dengan kawan-kawan, aku terlibat perbincangan tentang satu hadits Nabi Muhammad s.a.w. tentang tanda-tanda hari kiamat (asyrat al-sa’ah). Salah satunya adalah: matahari akan terbit di sebelah Barat. Kataku, sekarang pun matahari sudah terbit di Barat. Berati “kiamat” sudah terjadi. “Bagaimana mungkin?” tanya kawan-kawanku spontan. Ya, bukankah sumber kehidupan itu adalah “matahari”. Artinya semua menghadap ke matahari. Bahkan Jepang disebut sebagai negara “Matahari Terbit”. Tentunya bukan karena matahari terbit dari arah Jepang, melainkan mereka mengharap ke matahari ketika melakukan ritualnya. Lihat saja lambang bendaranya: matahari. Artinya, matahari adalah sumber kehidupan. Matahari sudah terbit di Barat. Semua gaya hidup bersumber dari Barat. Mode pakaian diadopsi dari Barat. Pergaulan muda-muda kalau bukan ala Barat terksan “kampungan” dan dianggap “norak”. Anak-anak muda yang biasa ‘bersarung’ dan “berkopiah” dianggap ketinggalan zaman. Kaum Muslimah yang mengenang kerudung dianggap “tidak gaul”. Kenapa? Karena bertentangan dengan Budaya dan Western life style, gaya hidup Barat. Barat sudah menjadi matahari sekarang. Jadi, meskipun belum “kiamat” kiamat peradaban sudah berlaku sejak lama. Kita dijajah. Kita dibelenggu. Dan kita pun menganggap Barat sebagai matahari kehidupan kita. Akhirnya, kita tidak bisa melepaskan cengkraman kuku-kuku tajam kebudayaan dan peradaban Barat itu. Kita benar-benar “mengekor”. Kita sudah lama “terjajah”, tapi kita tak pernah sadar. Kita merasa bangga kalau sudah Westernized, sempurna terbaratkan. Bahkan kalau tidak menampilkan “aksesoris” Barat kita tidak pede untuk tampil. Benar-benar inferiority complex. Thaha Husein dalam bukunya Mustaqbal al-Tsaqafa fi Mishr menyatakan bahwa jika kita mau “maju” wajib meniru Barat. Katanya: ‘An nasira sayra al-gharbiyyin, wa nasluka thariqahum linakuna lahum andaadan, wa linakuuna lahum syurakaa’a fi al-hadhaarah: khayraha wa syarraha, hulwaha wa murraha, wa maa yuhabbu minhaa wa maa yukrahu, wa maa yuhmadu minha wa maa yu’aabu’ (Kita harus mengikuti orang-orang Barat. Kita mesti mengikuti jalan mereka: agar menjadi tandinngan sekaligus partner dalam peradaban; baik dan buruknya, manis dan getirnya, apa yang disukai dan apa yang dibenci, apa yang dipuji dan apa yang dicela). Husein benar-benar menganjurkan kita untuk ‘udkhulu fi suluuk al-gharbiyyina “kaaffah”. Murni Barat. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu apakah yang diusulkan oleh Husein itu sesuai untuk kita? Sebentar, lihat dulu realitas negara Mesir sekarang. Tidak jauh beda dengan kita. Dari sisi apapun dapat dikatakan “sama saja”. Apanya yang dikatakan kita harus menjadi partner dalam peradaban. Nonsene semuanya. Yang muncul justru “permissifisme” yang kebablasan. Di Indonesis tidak usah ditanya lagi. Goyang ngebor sudah menjadi budaya. Bahkan sudah banyak parpol yang kampanya dihibur dengan para pendangdut yang serba ‘aduhai’ dan ‘gemulai’. Musik dangdut sepertinya akan menjadi menu fardhu setiap parpol dalam “meraup suara” ketika kampanye politiknya. Politik pun “dijajah” oleh permissifisme ‘kudis dan kurap’ pinggul para biduan dan artis. Luar biasa. Korban goyang ngebor sekarang merambah kepada anak-anak sekolah dasar. Tanggungjawab siapa? Majalah-majalah yang memuat foto-foto syur para artis dan bintang filam tidak usah diperdebatkan. Bukankan majalah Playboy lolos tak terkendali. Adegan-adegan ciuman di depan kamer bukan hal yang “tabu”: sudah biasa bahkan dibiasakan. Itu semuanya adalah potret dari inferiority complex. Meskipun orang akan berdalih macam-macam. Indonesia kalau ingin maju harus mengamalkan “sekularisme”, pluralisme dan libaralisme. Ketika disanggah, kaum liberal akan menjawab: “Kita tidak maju karena kita mengamalkan “sekularisme yang salah”. Ini benar-benar keblinger. Turki saja yang sudah sekian abad menjadi sekular kaffah tetap tidak maju. Oleh karena itu, Dr. Riyadh ibn Muhammad al-Masiry pernah menyindir fenomena permissifisme ini dalam artikelnya: al-Khila’ah laa tashna’u majdan (Buka-bukaan tidak menciptakan kemuliaan) (http://www.almeshkat.net/index.php?pg=art&cat=5&ref=363). Karena di negara kita sudah ada seorang Miss Universe 2008 yang menyatakan: “Masalah two pieces itu tidak menjatuhkan martabat Indonesia, malah finalis-finalis lainnya bangga. Mereka bilang Indonesia sudah maju ya, sudah pakai bikini.” (http://hidayatullah.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7358&Itemid=1). Ini benar-benar luar biasa. Apanya yang “maju”? Apakah “bikini” lambang suatu peradaban bangsa. Padahal kemajuan ini dinilai dari “moralitas”, bukan dari aksesoris duniawi per se. Aku jadi teringat tragedi runtuhnya rezim Taliban oleh Amerika. Tak berapa lama setelah kekalahannya, kondisi negara mulai berubah. Dalam satu majalah Akhlak alias moral dalam Islam merupakan standar “kemajuan” suatu bangsa. Penghulu para penyair (Amir al-Syu’ara’) asal Mesir, Ahmad Syauqi Bek menyatakan hal ini dalah sebati syairnya: ‘Innamal umamu maa baqiyat akhlaquhum. Wa in dzahabat akhaquhum dzahabuu’. Suatu bangsa dikatakan eksis karena akhalnya. Jika akhlak itu mengalami dekandensi, maka bangsa itu diakatakan amblas tak berbekas. Amir al-Syu’ara’ benar. Dr. Iyadh al-Masiry pun tepat. Sekali lagi, ini benar-benar inferiority complex. [Q]
<<Kembali ke posting terbaru
“Sunnah Perubahan”
Sepertinya semua orang sepakat bahwa “perubahan” (change) itu adalah satu kemestian. Bahasa Islamnya mungkin “sunnah”. Tentu saja bukan sekadar “tradisi” (tradition) melainkan sunnah. Artinya, perubahan dalam tubuh Islam merupakan hal yang inheren. Maka, ia menjadi sebuah kemestian. Dalam Islam, perubahan (al-taghyir) identik dengan “pembaruan” (al-tajdid). Konsep taghyir ini berkaitan erat dengan usaha serius, bukan sekadar keinginan dan kemauan. Karena konsep ini benar-benar “Islami-Qur’ani”. Konsepnya dicetuskan oleh Allah s.w.t. di dalam Al-Qur’an. ‘Innallah laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi’anfusihim’ (Qs. Al-Ra’du [13]: 11). Jadi, tidak ada perubahan secara instant. Perubahan dalam Islam juga identik dengan individu dan komunal. Artinya, setiap individu harus punya pure goal (keinginan yang murni) untuk berubah ke arah kebaikan. Jika goal ini terbentuk, perubahan dapat dilakukan secara kolosal: besar-besaran atau lewat satu instansi dan komunitas. Konsep ibda’ binafsika yang diajarkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah fondasi dasar bagi setiap individu untuk melakukan perubahan. Syeikh Musthafa Masyhur sering mengungkapkan dalam Fiqh al-Da’wah-nya satu konsep Islami ini: ashlih nafsaka wad’u ghayraka’. Perbaiki dahulu dirimu (niat, tujuan dan sasaran) lalu ajaklah orang lain melakukan hal yang sama. Dalam tafsir al-Jalalain, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi menjelaskan ayat di atas bahwa “Allah tidak akan mencabut nikmat-Nya dari mereka kecuali mereka merubah apa yang ada dalam diri mereka: dari satu kondisi yang baik (al-halah al-jamilah) menjadi dihiasi maksiat. Artinya, spirit perubahan itu menjadi satu kenikmatan yang luar biasa. Karena Allah meberikan jaminan di dalamnya. Jaminan untuk memberi jalan terbaik dalam rangka meraih dan mencapai kondisi yang lebih baik pula. Syeikh Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang cukup indah. Beliau menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nikmat dan kesehatan dari satu kaum, lalu Dia menghilangkan dan menghancurkannya. Sampai mereka sendiri merubahnya: dengan cara saling menzalimi dan saling berbuat tidak adil. Juga lewat perbuatan jahat dan hal-hal yang menghancurkan dan menyuburkan kezaliman di tengah-tengah masyarakat. Yang pada gilirannya setiap komunitas “memangsa” yang lainnya, laiknya virus-virus yang menyerang manusia. Artinya, perubahan itu tidak harus mengorbankan orang lain. Perubahan adalah demi kebaikan dan kepentingan orang banyak. Perubahan adalah lewat kejujuran dan penuh perhitungan. Perubahan yang dilakukan lewat kezaliman dan kelaliman hanya akan menuai badai kerusakan. Maka, dalam perubahan tidak diajarkan kamus ‘memancing di air keruh’. Perubahan juga tidak dapat dilakukan lewat aji mumpung: ‘memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan’. Yang jelas, perubahan tidak “menghalalkan” segala cara. Sunnah perubahan dalam Islam itu melahirkan sikap optimis dan “dinamis”. Mental nrimo dan mengharapkan langit menurunkan “emas” adalah ilusi tak berdasar. Ini tidak sesuai dengan konsep perubahan dalam Islam. Islam mengajarkan “dinamisme” dalam kehidupan. Islam juga mengajarkan konsep ‘amal (bekerja dan beramal sesuai ilmu) juga kasab (mencari rezki secara maksimal, lewat pekerjaan yang diberikan secara profesional). Lewat konsep ini, Islam mengajarkan bahwa “dunia-akhirat” harus balance. Suatu ketika, khalifah ‘Umar ibn Khattab masuk ke dalam masjid. Dia menemukan seorang pemuda yang sedang berdoa sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Rabb urzuqni, ya Rabb urzuqni”. Ya Allah penuhilah rezekiku, ya Allah penuhilah rezekiku. ‘Umar kemudian mengatakan: “Wahai pemuda, pergi kerja, jemput rezeki Allah. Sungguh, langit tidak akan menurunkan emas.” Mungkin dari kita ada yang ingin menjadi pintar, maka syaratnya “perubahan”. Rubah kondisi kita yang malas menghampiri buku untuk dapat ‘bergelut’ dengan buku-buku. Orang miskin yang ingin kaya, juga harus melakukan perubahan. Mungkin ada yang salah dalam konsep mencari rezekinya selama ini. Orang yang ingin pintar tanpa belajar adalah angan-angan ngawur. Orang yang ingin kaya tanpa usaha adalah orang-orang yang salah jalur dan tak mengerti aturan dunia. Lebih penting lagi: perubahan itu sifatnya gradual. Gradualitas perubahan ini merupakan sunnatullah. Lewat alam ini Allah mengajarkan konsep gradualitas perubahan. Dari sejak matahari terbit hingga terbenam, Allah mengajarkan konsep gradualitas. Pertumbuhan manusia, hewan dan tumbuhan juga mengindikasikan hal ini. Tidak ada yang ujug-ujug dan sim salabim langsung ada dan tersedia. Karena ini mustahil terjadi. Dan Allah mengajarkan bahwa tidak ada yang “kekal” di dunia ini. Yang kekal adalah “perubahan” itu sendiri. Maka berubahlah. Sebelum semua kenikmatan dan kesempatan untuk berubah itu dicabut oleh Allah s.w.t. Yang tidak punya keinginan untuk berubah adalah menantang “sunnatullah”. Karena what does not change/ is the will to change. “Apa yang tidak berubah/adalah kehendak untuk berubah” kata Olson dalam The Kingfisher-nya. Maksudnya: setiap kita “wajib” berubah. [Q]
<<Kembali ke posting terbaru
“Mereka Membenci “Al-Qur’an””
Aku tersentak ketika membuka situs idolaku www.hidayatullah.com (Minggu, 10 Agustus 2008). Diberitakan di dalamnya bahwa Lembaga Urusan Agama Turki “menutup” 1.817 kelas pembelajaran Al-Qur’an. Alasannya sangat simplistic: “Mereka tidak memiliki izin resmi dari pihak berwenang.” (http://hidayatullah.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=7381&Itemid=1). Luar biasa! Dan ini bukan hal yang “enah” dan baru. Karena Turki adalah negara “Sekuler Kaffah”. Murni sekuler. Aneh bin ajaib, jika kelas pembelajaran Al-Qur’an harus ditutup hanya karena tidak punya izin resmi. Jika begitu, lembaga urusan agama Turki tidak mengertai “kerjaannya” sendiri. Bahwa urusan agama harus mengerti anasir agama Islam, yaitu Al-Qur’an Al-Karim. Sebagai negara sekuler “kaffah”, Turki harus membuang segala atribut yang berbau Islam. Bapak mereka sendiri, Musthafa Kamal Attaturk(1880-1938) memang sangat membenci Islam. Aku baru saja membeli buku Kamal Attaturk: Pengusung Sekulerisme dan Penghancur Khilafah Islamiyah (Juli, 2008) karya Dhabith Tarki Sabiq. Di dalamnya (hlm. 239) dinyatakan bahwa Attaturk dalam mengatur Turki memberlakukan dua hal penting: Undang-undang Sipil dan Sekulerisme. Yang pertama: penetapan tidak adanya kaitan antara negara dengan agama. Dan yang kedua: penjauhan atas apa yang dinakaman dengan Undang-Undang Sipil –dimana dialah yang membentuk hak-hak dasar dan ukurannya dalam masyarakat—dari hubungan dan hak-hak dasar dalam Islam. Aku ingin mengutip satu kisah menarik mengenai sekulerisme dari buku di atas (hlm. 244). Dalam catatan harian Kilij Ali –yang merupakan salah seorang yang ikut celaka bersama Musthafa Kamal—bagaimana segala sesuatunya terlaksana dengan tipu muslihat dan di balik tabir moto yang samar, yang tidak diketahui bentuk sebenarnya: “Persoalan sekulerisme telah dimunculkan pada salah satu rapat Majelis Pertama. Pada pertemuan hari itu, Musthafa Kamal yang memimpin Majelis. Tiba-tiba salah seorang ulama terkenal di Majelis naik ke mimbar, dengan gaya bahasa menyindir ia mulai berbicara, ‘Wahai kawan-kawan sekalian, sesungguhnya perkataan sekulerisme sudah ada dalam setiap bibir, tetapi aku –mohon maaf—tidak bisa memahami istilah ini.’ Mendengar ucapan itu, Musthafa Kamal selaku Pemimpin Majelis tidak dapat menahan diri. Ia segera memotong pembicaraannya dengan memukul meja sambil berkata, ‘Yang dimaksud dengan sekulerisme adalah kita hendaknya menjadi manusia wahai Syekh kami! Menjadi manusia!’ Inilah jawaban Musthafa Kamal terhadap jawaban Syekh.” Sejak lama, Al-Qur’an memang –bukan hanya di Turki—menjadi “batu sandungan” bagi mereka yang tidak ingin diatur oleh isi dan kandungannya. Bagi mereka Al-Qur’an sangat membelenggu. Oleh karenanya, kaum sekuler banyak yang ‘mengekor’ dan ‘membebek’ kepada tradisi kaum kafir Quraisy di Mekah dahulu –kemudian dilanjutkan di Madinah al-Munawwarah. Kaum kafir Quraisy meminta Rasulullah s.a.w. agar “menukar” Al-Qur’an dengan kitab yang lainnya. Karena bagi mereka Al-Qur’an “mengekang” kebebasan jahiliyah. Mereka tidak bisa minum khamar; mereka tidak bisa lagi berjudi; mereka tidak bisa mengebiri “hak waris” dari kaum perempuan. Karena selama ini wanita menjadi komoditi yang digilir dan diwarisi. Lihatlah apa yang dilakukan oleh tentara Amerika Serikat di Irak! Pasukan dari Pam Sam itu terbiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai “sasaran tembak atau latihan tembak-menembak”. Di penjara “biadab” Guantanamo, Al-Qur’an sudah biasa dimasukkan ke closed atau sekadar menjadi tissue untuk membersihkan sepatu para tentara di sana. Apakah itu yang dinamakan dengan “menjunjung tinggi” Hak Azasi Manusia (HAM)? Masih segar dan hangat dalam memori umat Islam, bagaimana kebencian Greet Wilders dari Belanda. Anggota wakil rakyat liberal asal negeri Kincir Angin itu banyak memutar-balikkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dia bukan tidak mengerti keagungan Al-Qur’an, tapi karena “membenci” Al-Qur’an. Maka ayat-ayat yang benar pun menjadi “salah”. bagi orang yang sati tipe dengan Wilders yang salah bukan ilmu dan pengetahuannya, melainkan pemahamannya. Pemahamannya sudah “sakit kronis”. Bagi mereka tepat sekali dibacakan pepatah ini, ‘Kam min a’ibin qaulan shahihan, wa afatuhu min al-fahm al-saqim’. “Berapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar, karena pemahamannya sudah sakit”. Di Indonesia, orang-orang yang membenci Al-Qur’an pun semakin menjamur. Dimana-mana bermunculan para penghujat Al-Qur’an. Adagium dan diktum mereka pun bermacam-macam. Ada yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah ‘muntaj tsaqafi’, ‘cultural product’ alias “produk budaya”. Ada juga yang menyebut Al-Qur’an dari sampul depan sampai belakang “bukan” Al-Qur’an. Maka dia tidak tepat disebut sebagai firman Allah secara verbatim. Ada pula yang mengusulkan untuk menemukan Al-Qur’an “edisi kritis” (a critical edition of the Qur’an). Bahkan ada yang berani menyamakan Al-Qur’an dengan Bible. Karena keduanya “produk” sejarah. Sama-sama tidak sempurna dan sama-sama punya problem. Semuanya bermuara pada satu sungai: “sungai kebencian”. Meskipun kalau dilihat dan diteliti, pendapat mereka murni “jiplakan” dan “asimilasi” dari pemikiran dan ide orientalis Barat. Babak kebencian terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Ia akan terus berlanjut. Aku selalu meyakini bahwa: Nabi Muhammad memang lahir di samping Ka’bah, tapi jangan lupa bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab juga sama-sama lahir di Ka’bah. Artinya, dimana ada “kebenaran” di sana pula ada “kebatilan”. Namun, kita harus meyakini satu undang-undang yang sudah valid dari Allah: ‘wa qul ja’al haqqu wa zahaqal bathil, innal bathila kana zahuqan’ (Qs. Al-Isra’ [17]: 81). Kebenaran lah yang pertama kali muncul ke permukaan bumi, maka kebenaran pula yang akan bertahan. Bukankah Al-Qur’an berisi segala macam kebenaran? Dia turun dari Allah yang Mahabenar (al-Haqq); dibawa oleh malaikat Jibril yang selalu menyampaikan wahyu kebenaran; diturunkan ke dalam hati sang Nabi Kebenaran (Muhammad s.a.w.); diperuntukkan kepada umat yang cinta kebenaran. Maka, kebenaran akan selalu dibela dan dimenangkan. [Q]
<<Kembali ke posting terbaru
|