|
|
|
|
“Membacalah, Karena Kita Umat Membaca”
Pernahkah Anda menganggap bahwa “membaca” itu hanya sekadar hobi? Kalau benar, berarti persepsi Anda tentang membaca selama ini adalah salah. Membaca adalah “kebutuhan”, bukan sebatas hobi. Bahkan menurut Dr. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Iqra’ Laa budda an Taqra’. Al-Qir’ah Minhaj al-Hayah, membaca adalah way of life (minhaj al-hayah).
Bukan hal yang kebetulan jika Allah menurunkan wahyu pertama-Nya dengan perintah “membaca”: Iqra’! Padahal, kewajiban manusia kepada Rabb-nya adalah “ibadah”: penghambaan dan pengabdian (Qs. al-Dzariyat: 56). Allah menginginkan agar umat Islam menjadi “umat yang gemar membaca” (ummatun qari’atun). Karena ibadah pun pada hakikatnya harus didasari dengan proses membaca: membaca dasar ibadah, hakikat ibadah, hikmah ibadah, tujuan ibadah, dlsb. Artinya, membaca itu adalah segala-galanya. Bagaimanakah selayaknya seorang Muslim membaca? Seberapa banyak dia harus membaca? Syeikh ‘Abdul Halim Mahmoud, mantan Grand Sheikh Al-Azhar sekaligus sufi yang dianggap wali oleh masyarakat Mesir menjelaskan di dalam bukunya Al-Qur’an fi Syahr al-Qur’an bahwa yang dibaca itu adalah segala yang edukatif, bernilai tarbiyah. Karena, Allah menyatakan dalam surah al-‘Alaq dengan kata ‘Iqra’ bissmi rabbika’, bukan Iqra’ bismillah’. Artinya, bacalah segala bacaan atas nama Rabb (‘Tuhan Sang Pendidik Terbaik’) yang memberikan tarbiyah (‘pendidikan, edukasi). Jadi, tidak asal baca. Apa yang kita baca harus edukatif. Maka novel picisan, majalah-majalah vulgar, buku-buku porno, dan surat-surat kabar yang menampilkan pornografi dan pornoaksi adalah bacaan yang tidak tarbawi, tidak edukatif, tidak mendidik. Dan tentu saja bertentangan dengan tujuan “membaca” yang diinginkan oleh Sang Rabb. Kita membaca, menurut Syeikh Halim, seluas “ciptaan” Allah. Karena firman-Nya menjelaskan “al-ladzi khalaqa”: yang telah menciptakan. Jadi, seluruh ciptaan Allah harus dibaca, dicermati, ditelaah dan direnungkan dengan baik dan intens. Untuk apa? Agar proses membaca itu tidak sia-sia. Tumbuhan harus dibaca; hewan harus dibaca; langit harus dibaca; udara harus dibaca; apalagi buku, majalah, koran, dan yang lainnya. Bahkan menurut Allah, diri kita pun harus dibaca. Diri harus dilihat ‘ke dalam’, agar bisa difahami, di-muhasabah, diperbaiki dan diarahkan. Saya pikir, orang yang tidak mau membaca sejatinya ‘berkhianat’ kepada Allah. Ya, ‘berkhianat’. Karena dia tidak melaksanakan perintah-Nya yang pertama, Iqra’. Bukan hanya itu. Berarti dia juga ikut andil dalam menenggelamkan cahaya Al-Qur’an: cahaya kemajuan dan peradaban umat Islam. Masih malas juga membaca?! “Ya Allah, jadikanlah kami umat yang keranjingan membaca. Membaca firman-Mu: yang terhampar mau pun yang tertulis. Jadikanlah bacaan kami bacaan yang produktif, konstruktif dan edukatif. Ya Rabb, kami ingin kejayaan umat ini kembali. Kami ingin peradaban kami bersemi lagi. Ya, peradaban buku: Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Mu.” []
(Medan, Rabu: 31 Oktober 2007). http://qosim-deedat.blogspot.com / http://ulul4lb4b.multiply.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Allah Ada di Mana-Mana”
Allah ada di mana-mana. Ya, bahkan di aliran darah kita. Allah itu “Mahadekat”. Allah ada di lautan, di daratan, di langit, di sungai, di sawah, di bukti, di gunung, di rumah, di kantor, di mobil, di pesawat, di kapal dan dimana saja. Allah ada di tengah-tengah kita. Pernah mendengar kisah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Khatthab dan seorang penggembala? Kisah ini sangat masyhur. Mari kita lihat dialog mereka! Suatu hari, Ibnu ‘Umar berjalan dengan beberapa orang sahabatnya dan bertemu dengan seorang penggembala kambing. Kemudian dia berkata kepada sang penggembala itu, “Coba kamu jual kepada kami satu ekor dombamu! Penggembala itu menjawab, “Domba-domba ini bukan milik saya tuan, dia milik tuan saya.” Ibnu ‘Umar berkata lagi, “Katakan kepada tuanmu bahwa dombanya dimakan serigala.” Penggembala itu berkata, “Lalu dimana Allah?” Mendengar jawaban si penggembala itu Ibnu ‘Umar kemudian menangis dan selalu mengulang-ulangi pertanyaannya, “Lalu di mana Allah?” Ibnu ‘Umar akhirnya mendatangi tuan pemilik domba-domba itu dan membelinya. Bukan hanya itu, Ibnu ‘Umar membebaskan sang penggembala --kebetulan dia adalah seorang hamba sahaya. Dia kemudian membeli seekor domba dan menghadiahkannya kepada si penggembala itu. Subhanallah. Di mana Allah? Pertanyaan yang sangat luar biasa. Pertanyaan ini sebenarnya yang menjadi ‘Rem Cakram’ kehidupan kita. Tidak ada rem yang lebih kuat selain qalbu yang hidup: yang mampu merasakan kehadiran Allah, kapan dan di mana saja. Ketika ingin berbuat maksiat, munculkan pertanyaan: “Lalu, di manakah Allah?” Mungkin kita sudah merasa jauh dari Allah. Atau, Allah tidak beserta kita, seolah-olah maksiat kita tidak diawasi oleh-Nya. Ketika ingin korupsi, lahirkan pertanyaan: “Di manakah Allah?” Dengan begitu niat korupsi dapat dibendung dan dibentengi. Ketika ingin berzina, timbulkan pertanyaan: “Di manakah Allah?” Sehingga niat untuk berzina bisa diurungkan. Pokoknya, setiap perbuatan jahat insya Allah dapat dihindarkan, jika kita benar-benar yakin bahwa Allah itu dekat, Mahamelihat, Mahahadir, Mahadekat, dan “Serba Maha”. Sebagai penutup refleksi ini, mari kita renungkan kisah menarik di bawah ini. Al-Mubarak, ayah ‘Abdullah ibn al-Mubarak adalah seorang hamba sahaya kemudian dimerdekakan oleh tuannya. Ia bekerja pada seorang pemilik kebun. Suatu hari, sang pemilik kebun berjalan-jalan ke kebunnya bersama kawan-kawannya. Ia kemudian menyuruh al-Mubarak untuk memetik buah delima yang manis. Setelah dipetik, sang pemilik kebun itu berkata kepada al-Mubarak, “Apakah engkau bisa membedakan mana delima yang manis dan mana yang asam?” Al-Mubarak menjawab, “Bagaimana saya dapat mengetahuinya, sementara Anda belum mengizinkan saya untuk memakannya.” Sang pemilik kebun mengira bahwa al-Mubarak sedang menipunya. Dia lalu bertanya, “Engkau telah menunggu kebun ini sejak sekian tahun dan berkata seperti ini?” Sang pemilik kebun tadi bertanya kepada para tetangganya perihal al-Mubarak ini. Mereka memberikan kesaksian bahwa al-Mubarak adalah orang baik-baik dan saleh. Dan mereka tidak pernah tahu (melihat) al-Mubarak memakan satu buah delima pun. Akhirnya sang pemilik kebun mendatanginya dan berkata, “Jika aku mengawinkanmu dengan anakku, siapa yang engkau mau?” Al-Mubarak berkata, “Orang Yahudi mengawinkan anaknya berdasarkan harta. Orang Nasrani mengawinkan anaknya berdasarkan kecantikan. Sementara orang Mukmin berdasarkan “ketakwaan” dan “agama”. Maka lihatlah, Anda ini dari golongan yang mana?” Sang pemilik kebun tadi bertanya kepada al-Mubarak, “Apakah aku dapat menemukan seorang laki-laki untuk anakku yang baik darimu?” Dia kemudian memperkenalkan anak perempuannya kepada al-Mubarak. Al-Mubarak akhirnya --karena salehah dan bertakwa--menerimanya dan membangun rumah tangga bersamanya. Dia akhirnya dikarunia banyak anak, diantaranya adalah ‘Abdullah ibn al-Mubarak rahimahullah. Subhanallah! Lihatlah al-Mubarak. Dia menjaga kesucian dirinya dengan “satu buah delima”. Dia tidak pernah memakannya, padahal sudah bertahun-tahun menjaga kebun delima itu. Kenapa? Dia takut bahwa delima yang dia makan ini “tidak halal”. Karena tuannya tidak pernah mengizinkannya untuk itu. Akhirnya, bukan hanya delima yang dia dapat, melainkan hati sang pemilik kebun delima juga anaknya yang salehah. Allah benar-benar hadir di ‘kebun delima’ itu. Hadir di hati al-Mubarak.
“Ya Allah, ya Rabb, jadikan hati kami selalu ‘sensitif’ dalam merasakan ‘sinyal’ kehadiran-Mu. Hadirlah selalu dalam hati kami. Bimbinglah kami selalu, agar kami senantiasa berada dalam ‘rel’ kebenaran”.[] (Medan, Senin: 29 Oktober 2007) http://qosim-deedat.blogspot.com/http://ulul4lb4b.multiply.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Tiga Hal yang Dicintai Allah”
Menurut orang, salah satu kodrat manusia adalah “mencintai” dan ingin “dicintai”. Saya kira, kita semua setuju dengan kodrat ini. Alangkah indahnya, jika kodrat ini kita sandingkan kepada yang menciptakannya, Allah SWT. Kita harus mencintai-Nya dan kita harus berusaha semaksimal mungkin agar layak dicintai oleh-Nya. Masalah mencintai, mari kita berusaha untuk itu. Masalah kedua, mari kita curhat melalui refleksi sederhana ini. Menurut khalifah ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz, Allah mencintai tiga hal. Apa itu? Dia berkata, “Ada tiga hal yang paling dicintai Allah, yaitu: [1] memaafkan kesalahan orang; [2] bersungguh-sungguh dalam beramal; dan [3] beribadah sesuai dengan ilmunya. Tidaklah seseorang berbuat baik terhadap orang lain di dunia, melainkan Allah akan menyayanginya pada hari kiamat.” Tuh, subhanallah. Itu tiga hal yang paling dicintai Allah menurut cucu ‘Umar ibn al-Khatthab ini.
[1] Memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah akhlak yang sangat mulia. Orang yang mampu ‘membuka hatinya’ untuk memberikan maaf kepada orang lain adalah orang muhsin menurut Allah. Yaitu orang-orang yang berbuat baik tanpa pamrih dan tanpa tendensi apapun. Ia benar-benar ikhlas: murni berbuat baik, tanpa mengharap apapun dari orang yang --mungkin-- ditolong dan dibantunya. Dalam Qs. Ali ‘Imran [3]: 133-134 Allah menjelaskan, “Bersegeralah kalian meraih “maghfirah” (ampunan) Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, yaitu: [1] yang berinfak di kala lapang maupun sempit (susah); [2] menahan amarahnya; dan [3] suka memaafkan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang “muhsin”.” Selain itu, orang muhsin dikategorikan oleh Allah sebagai orang-orang yang bertakwa (muttaqun). Luar biasa. Anehnya, masih tetap saja ada orang Muslim yang tidak mau minta maaf ketika bersalah. Lebih aneh lagi adalah yang tidak mau memaafkan saudaranya sesama Muslim. Na‘udzu billah mindzalik. Padahal Allah saja menerima taubat dan memaafkan segala kesalahan dan dosa hamba-Nya, selama mereka mau bertaubat dengan baik (taubatan nashuha). Oleh karena itu, Allah banyak disebut di dalam Al-Qur’an sebagai tawwab, rahim, ghafur, qabil al-taub (penerima tobat), ghaffar, dlsb. Alangkah indahnya jika sifat-sifat Allah itu kita teladani. [2] Bersungguh-sungguh dalam beramal. Beramal itu jangan setengah-setengah. Tidak boleh tanggung. Ia harus dilaksanakan dengan full. Semangat dalam beramal, konsisten (istiqamah) dan kontiniu adalah bukti amal seseorang itu “benar” dan “sungguh-sungguh”. Fenomena yang banyak terjadi adalah amal itu dilakukan sebatas menggugurkan kewajiban. Puasa, misalnya. Banyak orang berpuasa sekedar menahan “haus” dan “lapar” saja. Tidak lebih. Shalat juga demikian. Secara mayoritas, umat Islam faham bahwa shaf terdepan adalah yang terbaik. Namun masih banyak yang berebutan bahkan “antri” untuk shalat paling belakang. Sedekah pun tanggung-tanggung. Kita masih merasa bahwa Rp. 10.000 itu “sangat besar” untuk diinfakkan. Tapi kita merasa bahwa Rp. 100.000 itu “sangat kecil” jika dibawa ke mall-mall, swalayan, Ramayana, dlsb. Mengapa demikian? Karena kita masih merasa bahwa ibadah itu bisa dilaksanakan apa adanya. Ironis memang. [3] Beribadah sesuai dengan ilmunya. Ibadah itu harus ada dasarnya. Tidak asal ibadah. Shalat harus ada ilmunya. Puasa harus memiliki dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah. Zakat harus memiliki dasar yang benar. Begitu juga dengan ibadah-ibadah yang lain. Inti ibadah adalah “mengikut” (ittiba‘), bukan “membuat-buat” (ibtida‘). Shalat yang benar adalah shalat yang didasari dengan “ilmu shalat”. Itu lah shalat yang akan membuat pelakunya seperti ‘memakan sirih’. Awalnya shalat itu berat, tapi kemudian sangat ia cintai. Awalnya memakan sirih itu pahit, getir, tapi ia akan nikmat jika sudah dilaksanakan dengan rutin. Puasa yang hanya sekedar menahan haus dan lapar adalah ‘puasa main-main’. Ini lah yang pernah disindir oleh Rasulullah SAW, “Berapa banyak orang berpuasa, tetapi hanya memperoleh haus dan lapar saja.” Tentang shalat beliau juga menyindir, “Berapa banyak orang yang berdiri (melaksanakan shalat), namun yang dia dapat hanya letih dan capek saja.” Ibadah tanpa ilmu, adalah ibadah yang tidak benar. Lebih dari itu, kemungkinan besar akan ditolak oleh Allah SWT. Mau ibadah kita ditolak? “Ya Allah, jadikanlah kami orang yang pemaaf. Jadikan hati kami cinta kepada amal, sungguh-sungguh dalam beramal dan cinta ilmu. Jadikanlah ilmu kami ilmu yang semakin mengenalkan kepada dzat-Mu. Sehingga kami bisa beribadah berdasarkan perintah yang Engkau inginkan.” [] (Medan, Sabtu: 27 Oktober 2007)
<<Kembali ke posting terbaru
“Manusia Terbaik”
Suatu ketika, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya, “Maukah kalian aku beritahu siapa “manusia terbaik”?” Mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullah!” Rasulullah menjawab, “Yaitu orang jika kalian memandangnya, ia mengingatkan kalian kepada Allah SWT.” Laa ilaaha illa Allah! Itu lah manusia “terbaik” menurut Sang Rasul. Luar biasa! Siapakah diantara kita yang pernah menyaksikan atau bertemu dengan orang seperti itu? Orang yang benar-benar memiliki kekuatan magis Ilahi. Dia mampu menembus qalbu-qalbu yang hidup dan bersemi di ‘ladang ketakwaan’. Mungkin kita belum pernah bertemu dengan orang yang seperti itu. Sebaliknya, kita malah sering bertatap muka atau bahkan bertetangga dengan orang yang mengingatkan kita kepada “kenikmatan duniawi”. Kita selalu –jika bertemu dengan orang ini–diingatkan kepada anak, istri, saudara, ladang, peternakan, pertanian, pekerjaan, duit, tabungan, ATM, deposito dan sawah kita. Semuanya adalah kenikmatan dunia. Ya, kenikmatan semu dan palliative. Perlu rasanya kita bertemu dan bersilaturahim dengan ‘orang ini’. Yang jika menatapnya, kita bergumam dalam hati, “Ya Allah.” Jika kita ngobrol dengannya, kita berucap refleks, “Subhanallah.” Kalau kita berpapasan dengannya kita berkata, “Allahu Akbar.” Seandainya kita bertetangga dengannya, kita selalu mengatakan, “Masya Allah.” Bukan hanya itu, jika kita melihatnya selalu diingatkan akan neraka, dosa dan kesalahan kita kepada Allah SWT. Kita perlu mencari teman yang mampu mengingatkan kepada kita akan nikmat-nikmat Allah. Kita butuh seseorang yang mampu membeberkan kepada kita isi kitab suci Al-Qur’an. Kita memerlukan sosok orang yang mampu menggetarkan qalbu kita ketika diceritakan tentang kepribadian Rasulullah SAW. Kita juga sangat rindu kepada orang yang mampu membawa kita kepada dzikrullah, selalu ingat kepada Allah. Kapan itu bisa kita rasakan? Kapan itu bisa kita temui? Kapan itu bisa kita dapatkan? Kapan saja bisa. Saat ini juga bisa. Besok, insya Allah, bisa. Bahkan minggu depan juga mungkin. Kalau bisa hari ini kita melihat orang itu. Jangan tunggu hari esok. Jangan nanti minggu depan. Besok atau minggu depan, insya Allah mentari akan terbit seperti biasanya, karena itu pekerjaannya. Tapi mungkin kita sudah tidak ada lagi. Dan kita tidak akan bertemu dengan orang itu. Manusia terbaik yang dikatakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Indahnya kehidupan para sahabat. Jika Rasul SAW bercerita tentang neraka, mereka ingat akan dosa-dosa mereka ketika zaman Jahiliyah dulu. Mereka pun menangis. Tak sadar buliran bersih dan jernih mengalir di pipi mereka. Jika Sang Nabi bercerita tentang surga Allah, mereka gembira dan berdoa agar bisa termasuk sebagai ahli surga. Mereka begitu berharap agar bisa bersatu dengan Rasulullah di dalam surga. Setiap malam mereka bangun untuk qiyamullail. Mereka begitu rindu kepada Allah. Berbeda dengan kita. Kita banyak diselimuti kemalasan. Orang bercerita tentang Allah kita tinggalkan. Orang berkisah tentang kehiudpan Nabi SAW kita anggap ketinggalan zaman. Orang bertutur tentang kehidupan para sahabat kita klaim tidak kompatibel dengan globalisasi. Bahkan ada yang berani mengatakan bahwa “surga dan neraka” itu tidak ada. Akhirat itu bohong. Surga itu hanya ‘opium’ yang membius masyarakat. Allah tidak ada. Allah adalah ilusi manusia yang terlalu mengikutkan perasaannya saja. Jika demikian, kapan kita akan merasakan kehadiran ‘Manusia Terbaik’ itu? Sementara ‘keran-keran’ yang mengarah ke sana sudah kita putus. Hidayah-hidayah menuju Allah sudah kita tolak mentah-mentah. Kita banyak yang apriori. Kita banyak merasa sudah tahu tentang Allah. Kita merasa sudah pintar, sudah hebat, sudah jago, dslb. Padahal “sekulit ari” pun belum sampai pengetahuan kita tentang Allah. Sekarang tahu kan caranya bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu? Caranya adalah: cari keran-keran yang mengalirkan dan menghanyutkan kita kepada orang-orang yang berbicara tentang Allah. Tentang dzat-Nya, sifat-Nya, nama-nama-Nya yang baik (Asma’ul Husna), ciptaan-Nya, alam semesta-Nya, laut-Nya, daratan-Nya, hewan-Nya, air-Nya, bencana-Nya, nikmat-Nya, murka-Nya, ‘sindiran’-Nya, cobaan-Nya, cinta-Nya, ampunan-Nya, ‘senyum’-Nya, kasih-sayang-Nya, keindahan-Nya, dlsb. Jika bertemu dengan orang itu, pastikan bahwa kita telah bertemu dengan ‘Manusia Terbaik’ itu. “Ya Allah, pertemukan kami dengan ‘Manusia Terbaik’ itu. Yang mampu membuat qalbu-qalbu kami mampu menembus hijab yang selama ini menutupi mata kasat kami dari melihatmu. Jadikan qalbu kami bercahaya. Ya, cahaya yang mampu menembus kegelapan ‘kabut cinta’ yang menghalangi cinta kami kepada-Mu. Ya Rasulallah, ya Nabiyallah, semoga kami bisa bertemu dengan orang yang kau katakan itu. Kami rindu mereka, kami menginginkan kehadiran mereka. Semoga kami cepat bertemu dengan mereka. Kami ingin bertemu mereka secepatnya, saat ini juga.” [] (Medan, Kamis: 25 Oktober 2007) http://alqassam.wordpress.com/http://ulul4lb4b.multiply.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Pemuda dan Al-Qur’an”
Apa pandangan Al-Qur’an terhadap pemuda? Apakah Al-Qur’an membutuhkanku? Ataukah aku yang membutuhkan Al-Qur’an? Pertanyaan seperti ini seharusnya terlontar dari dalam qalbu seorang pemuda Muslim. Ya, pemuda Muslim yang mendaku dirinya sebagai pembawa “panji Al-Qur’an”. Agar mereka menyadari bahwa Al-Qur’an ‘memperhatikan’ mereka. Di era globalisasi semacam ini, pemuda seharusnya melek Al-Qur’an. Artinya, mereka harus intens berinteraksi dengan Al-Qur’an: membuka, membaca, mentadabburi, memikirkan dan mengamalkannya. Zaman ini adalah zaman penuh ‘fitnah’. Dunia anak muda banyak dihiasi dengan berbagai ‘jerat’ dan ‘perangkap’ syahwat. Pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar-lebar di hadapan mereka. Dan sejatinya, tidak ada jalan keluar dari itu semua kecuali dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an. Berapa banyak pemuda Muslim yang ‘kenal’ Al-Qur’an? Berapa banyak dari mereka yang “membaca” Al-Qur’an? Berapa banyak pula dari mereka yang “faham” atas bacaannya? Dan berapa banyak dari yang “faham” itu “mengamalkan” isi dan kandungannya? Ini saja sudah merupan problem yang sangat akut dan kronis. Pada masa Rasulullah SAW, para pemuda begitu getol mempelajari Al-Qur’an. Maka tidak heran jika muncul para sahabat dari kalangan ‘anak muda’ yang menjadi ahli Al-Qur’an. Sebut saja, misalnya, Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn ‘Umar, Mu‘adz ibn Jabal, ‘Abdullah ibn Mas‘ud, dlsb. Bahkan, Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya untuk memperoleh bacaan Al-Qur’an --yang baik dan benar--dari mereka. Beliau bersabda, “Ambillah bacaan Al-Qur’an dari empat orang: [1] ‘Abdullah ibn Mas‘ud, mulailah dari dia; [2] Salim: budak --yang dimerdekakan--Abu Hudzaifah; [3] Ubay ibn Ka‘ab; dan [4] Mu‘adz ibn Jabal...” (HR. al-Bukhari-Muslim). Imagine! Bayangkan, sumber bacaan Al-Qur’an, wahyu Allah, itu numplek di empat orang, tiga di antaranya adalah “pemuda” --selain Ubay ibn Ka‘ab. Selain mereka, seorang pemuda lagi yang menjadi ‘tulang punggung’ penulisan Mushaf di era Rasul hingga zaman ‘Utsman ibn ‘Affan adalah Zaid ibn Tsabit. Dia adalah seorang pemuda yang sangat “cerdas” dan “cerdik”. Zaid ini lah yang diakui oleh ‘pembantu Kanjeng Nabi’, Anas ibn Malik, dalam satu riwayat sebagai orang yang ‘sadar akan Al-Qur’an’. Anas menyatakan, “Yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Nabi SAW ada empat orang dan seluruhnya dari kaum Anshar adalah: [1] Ubay; [2] Mu‘adz ibn Jabal; [3] Bapak si Zaid; dan [4] Zaid ibn Tsabit.” (HR. al-Bukhari-Muslim). Di mana posisi pemuda kita dibandingkan dengan mereka? Sekarang “koran” menjadi bacaan wajib kaum muda-mudi Islam. “Al-Qur’an” mah gampang dibaca,” menurut sebagian mereka. “Nanti kan ada bulan Ramadhan, di sana aja kita baca habis-habisan tu Al-Qur’an. Pahalanya lebih gede, daripada dibaca sekarang,” kata sebagian yang lain. Sebagian mereka lupa, bahwa panutan mereka semuanya ada dalam Al-Qur’an. Orang yang tidak neko-neko, tidak suka “obral jasa”, dapat dicontoh dari sosok nabi Musa as ketika membantu kedua anak nabi Syu‘aib ketika memberi minum ternak mereka. Teladan pemuda yang “sabar” dan “lembut hati” ada dalam diri nabi Isma‘il. Pemuda yang kuat dakwah, bahkan berani menghancurkan “berhala-berhala” buatan bapaknya dapat diambil dari kisah nabi Ibrahim. Pemuda yang sangat taat kepada kedua orangtuanya dapat dicontoh dari sosok nabi Isa dan Yahya. Pemudi yang mampu menjaga kehormatannya dapat dilihat dalam kisah Ibunda Maryam (ibu nabi Isa as). Pemuda yang mampu ‘membendung’ arus syahwat dapat ‘diadopsi’ dari nabi Yusuf as. Lihat bagaimana antusiasme nabi Musa dalam menuntut ilmu. Dia berusaha keras agar mampu bertemu dengan hamba Allah yang saleh, nabi Khidir as. Subhanallah! Semuanya ada dalam kitab suci Al-Qur’an. Jika para pemuda dari kalangan sahabat di atas banyak yang menangis dan sedih karena pernah tidak membaca Al-Qur’an, mayoritas pemuda Muslim sekarang “menangis” kerena ketinggalan berita TV, koran, majalah, tabloid, dlsb. Mereka sedih kalau ketinggalan acara Gosip, Mamia --bahkan Papapia--, berita selebritis, kisah selingkuh para artis, dlsb. Sosok pemuda semacam itu lah yang dikatakan modern. Mereka yang rajin membaca Al-Qur’an: menjadi ‘dara masjid’, tekun ibadah, rajin shalat; dianggap “kuno”, ketinggalan zaman, gak modern, dslb. Tidak salah membaca koran, majalah, tabloid. Tapi silahkan baca itu semua setelah Al-Qur’an. Jangan dijadikan sebagai bacaan primer, jadikan sekunder saja. Primary reading kita adalah “Al-Qur’an”, bukan yang lain. Para pemuda Muslim banyak yang lupa bahwa kemajuan Islam terletak di tangan mereka. Mereka lupa bahwa Al-Qur’an adalah “inspirasi” kehebatan para pemuda zaman Rasul, Sahabat dan Tabi‘in yang mengagumkan dan menggemparkan dunia itu. Tidak percaya?! Bacalah biografi mereka!
Ya Allah, saya sedang berkhayal dan bermimpi, bagaimana sekiranya para pemuda seperti saya ini bisa ‘sadar Al-Qur’an’. Hamba merindukan suara-suara pemuda itu menghiasi kitab-Mu yang amat agung itu. Hamba rindu kepada ‘Ibnu Mas‘ud, Zaid ibn Tsabit, Mu‘adz ibn Jabal, Salim, ‘Ali ibn Abi Thalib’ di sini, di negeriku: Indonesia. Hamba yakin mereka ada di sini, di sekitarku. Mereka sudah hadir di dekatku, aku sudah merasakan desah nafas mereka. Aku sepertinya tinggal menunggu “booming” aksi mereka saja. Semoga keyakinanku tidak salah ya Rabb.[] (Medan, Rabu: 24 Oktober 2007)
http://alqassam.wordpress.com/http://qosim-deedat.blogspot.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Hakikat Malu kepada Allah”
Pernah merasa malu kepada Allah? Saya kira, jawabannya antara “ya” dan “tidak”. Alasannya bukan pasti beragam. Tapi, biarlah “ya” dan “tidak” qalbu kita yang menjawabnya. Mari kita test kadar rasa “malu” kita lewat dialog Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan sahabatnya di bawah ini. Suatu ketika, Nabi SAW berseru di hadapan para sahabatnya, “ Wahai manusia, malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kami telah merasa malu kepada Allah?” Rasulullah kemudian menjawab, “Barangsiapa malu kepada Allah; ia: [1] tidak akan tidur nyenyak di malam hari, karena ajal selalu mengintai di hadapannya; [2] akan menjaga perut dan isinya; [3] memelihara kepala dan pikirannya; [4] mengingat mati dan cobaannya; dan [5] meninggalkan kemegahan dunia.” (HR. Ibnu Majah).Itulah hakikat malu menurut Baginda Rasulullah SAW. Bagaimana dengan malu yang ada dalam diri kita? Sudahkah seperti yang dianjurkan oleh Rasul SAW? Atau sebaliknya? [1] Tidak tidur nyenyak. Maksudnya bukan tidak tidur, tapi sebagian malam ada waktu khusus ‘untuk Allah’. Tidur adalah kebutuhan jasmani. Rasulullah pun tidur di malam hari. Bahkan menurut beliau, “tidur adalah hak badan kita”. Jadi, yang perlu dibudayakan di sini adalah bagaimana kita menyediakan waktu khusus untuk bermunajat kepada Allah, ketika orang lain --mungkin--tertidur pulas di atas kasur empuknya. Karena menurut Allah --dalam surah al-Muzammil--bacaan shalat malam lebih berkesan. Tidurlah di malam hari, tapi jangan lupakan Allah yang memberikan nikmat ‘mengantuk’ dan nikmat ‘cita rasa tidur’ kepada kita. [2] Menjaga perut. Ya, perut adalah ‘mesin’ manusia. Ia harus diisi agar bisa bergerak dengan baik dan stabil. Tetapi, isi perut haris ‘diedit’: tidak asal makan, tidak asal masuk, tidak asal caplok. Yang namanya mesin, isinya tidak boleh “heterogen”. Homogenitas isi perut harus benar-benar dipertahankan. Maksud saya adalah “kehalalan” makanan. Makanan --apapun bentuk dan modelnya--harus halal dan baik, halalan thayyiban kata Allah SWT di dalam Al-Qur’an. Zaman sekarang ini, orang tidak malu lagi nyaplok makanan. Tak peduli halal-haram, yang penting perut kenyang. Bahkan sudah ada statemen yang sangat memalukan dan memilukun, “Jangankan yang halal, yang haram saja susah dicari.” Na‘udzu billah min dzalik. Orang yang asal masukkan makanan ke dalam perut besarnya adalah orang yang tidak tahu malu di hadapan Allah. Allah sudah menyediakan rezki yang begitu banyak, kenapa masih ada rasa sulit dalam menjemputnya? [3] Memelihara kepala dan isinya. Yups, kepala harus dijaga. Jangan asal mikir. Jangan asal puter otak. Semuanya harus dipertimbangkan dengan baik dan matang. Positive thinking, ini mungkin yang pas istilahnya. Kata orang Arab, al-tafkîr al-îjâbî, berpikirlah dengan positif. Jangan selalu berpikir yang ngeres, kotor, jahat, su’uzzhann, dlsb. Tentang rezki, berpikirlah dengan baik (husnuzzhan) kepada Allah. Tentang prestasi, berpikirlah dengan baik dan sehat tentang usaha kita dalam meraihnya. Tentang ibadah kepada Allah, koreksi (muhasabah)lah setiap saat, agar grafiknya meningkat dan semakin mantap. Menurut seorang ahli, berpikir negatif (su’uzzhan) adalah satu cara agar cepat mati.” Tuh, emangnya enak? [4] Mengingat mati. Bukan hanya mengingat mati, tapi juga cobaannya kata Baginda Rasul SAW. Apa cobaan kemaatian itu? Cobaannya adalah sakaratul maut, “sakitnya merasakan ruh ketika keluar dari tubuh”. Ya Allah. Kita selalu merasa maut itu masih jauh, sehingga kita tidak pernah merasa malu kepada Allah. Kita selalu merasa bahwa amal kita sudah baik, sudah sempurna. Dengan begitu, kita tidak pernah merasa dan berpikir bahwa maut akan datang menjelang. Zikru hadimi al-ladzdzat harus diperbanyak kata Nabi SAW. “Aktsiru min dzikri hadimi al-ladzdzat, “Perbanyaklah mengingat sang pemutus kenikmatan”. Ya, kita harus banyak mengingat mati, kalau kita benar-benar merasa malu kepada Allah. Nabi SAW saja ketika merasakan sakitnya sakaratul maut sampai berkeringat dan berkata, “Inna lilmauti lasakarat, “Sungguh, kematian itu memiliki rasa sakit yang sangat dahsyat, ketika ruh mau keluar dari tubuh”. Istrinya tercinta, Ibunda Aisyah, sampai berulang-ulang membasuhkan air ke muka beliau yang sangat mulia itu. Lha, kita? Seberapa sering kita mengingat mati? Jangan-jangan kita tidak pernah mengingatnya. [5] Meninggalkan kemegahan dunia. Bukan meninggalkan kenikmatannya. Karena nikmat yang ada didunia ini memang diciptakan untuk kita oleh Allah. Yang tidak benar adalah, kita terlalu bermegah-megah dalam menikmatinya, sampai kita tidak merasa malu kepada Allah. Dia-lah Sang Pemberi rezki di dunia ini. Kita tidak boleh asal comot rezki-Nya, ada aturan main di dalamnya. Di dalam surah al-Takatsur Allah telah mengingatkan, “Kalian telah dilalaikan oleh gaya menumpuk-numpuk kemegahan dunia. (Kalian baru sadar) sampai kalian ‘ziarah’ ke alam kubur.” Ya, ketika kita ‘ziarah’ (singgah sebentar) di alam barzakh, kita baru tahu ternyata peringatan Allah itu benar. Kebanyakan mengejar duniawi, menumpuk kekayaan yang tiada henti dan tanpa batas membuat qalbu kita mati. Kita tidak malu kepada Allah. Dilalaikan oleh kenikmatan dunia, akhirnya kita lalai dari zikrullah yang lebih nikmat dari makanan dan minuman apapun. Zikrullah lebih tenang dari ketenangan mana pun. Ala bidzikrillah tathma’innul qulub. Ingat, kata Allah, dengan berzikir kepada Allah lah hati-hati kalian menjadi tenang dan tentram. Silahkan dinikmati kenikmatan dunia ini, tapi jangan lupakan akhirat. Di sana kampung halaman kita yang hakiki. Dan kita pasti akan kembali ke sana. “Carilah apa-apa yang telah diberikan kepadamu dari kehidupan akhirat. Namun jangan lupa untuk menikmati bagianmu di dunia ini.” (Qs. al-Qashash: 77). Ya Allah, hidupkan lah qalbu kami dengan ”rasa malu’” kepadamu. Tolonglah kami agar senantiasa mengingat-Mu, bersyukur atas nikmat-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘Alamin. [] (Medan, 23 Oktober 2007)
<<Kembali ke posting terbaru
“Budaya Instant”
Instant cultural. Ya, saya lebih senang menyebutnya demikian. Satu budaya dimana segala sesuatu ingin dicapai, diperoleh dan dinikmati dengan “cepat” alias “siap saji”. Tentu saja ini budaya “jelek” dan tak layak untuk “dibudayakan”. Alkiash, Nasruddin Hoja memberi minum ayamnya dengan “air panas”. Spontan para tetangganya protes. Menurut mereka, Nasruddin keterlaluan dan ‘tak berotak’. “Nasruddin, kenapa engkau memberi minum ayammu dengan air panas?” tanya mereka kesal. Dengan enteng Nasruddin menjawab, “Ia, supaya ketika telurnya keluar sudah matang. Jadi aku gak perlu susah-susah lagi merebus telur ayam.” Sejatinya, Nasruddin ingin menyindir fenomena kehidupan modern kita. Ia ingin mengatakan bahwa di zaman modern ini, manusia ingin menikmati prestasi, kemewahan, glamour dunia, aksesoris dunia dan lain sebagainya “tanpa proses”. Mereka seolah melupakan prinsip “result by process”. Nilai itu hanya dapat diperoleh lewat proses. Kenikmatan harus diawali dengan “kesulitan”. Pepatah Arab menyatakan, “Wamaa al-ladzdzatu illa ba‘da al-ta‘abi” (Tidak ada kenikmatan kecuali setelah melewati masa kesulitan dan kesusahan). Nasruddin juga ingin menyatakan bahwa bukan “ayam” yang ingin telurnya keluar dari “duburnya” langsung “matang”, melainkan tuannya. Artinya, banyak orang tua sekarang ini menginginkan anaknya sukses tanpa proses. Maka muncul istilah ‘sarjana karbitan’. Sarjana yang diwisuda tanpa proses belajar. Dari mana gelarnya? Hasil pembelian. Ilmu gelar sekarang tidak harus ‘dijemput’ lewat bangku kuliah. Ilmu sekarang bukan hal yang penting. Yang penting adalah “duit”. Bagaimana memperoleh “duit” yang “gampang”, cara itulah yang ditempuh. Walaupun cara itu “tidak ilmiah”, harus menyogok (risywah), menipu, memanipulasi data, dlsb. Masalah “halal-haram” adalah nomor sekian puluh. Proses adalah sunnatullah. Matahari tidak mungkin langsung terbit seperti di siang hari. Ada prosesnya. Anak bayi tidak mungkin langsung diberi makan “jengkol”. Ada prosesnya. Bangku sekolah pun punya tingkatannya. Itu lah sistem klasikal: perkelas, pertingkat. Tidak bisa anak SD langsung melompat ke SMU, misalnya. Saya khawatir, gelar yang diperoleh tanpa ‘bangku belajar’ akan menghilangkan keberkahan ilmu. Kenapa? Karena telah melanggar sunnatullah itu. Dalam interaksi sosial pun bidaya “instant” ini banyak digemari. Khususnya dalam pergaulan muda-mudi. Maka ada kasus orang menikah baru 3 bulan, tapi anak sudah lahir. Bukankah itu perzinaan namanya? Dan orang yang berzina, memang, adalah orang yang tidak mau melewati “proses”. Dia mau instant. Asal serobot, tanpa proses akad. Dia langsung ingin menikmati ‘kenikmatan’ yang belum sah dan haram untuk ‘dinikmati’ kecuali telah melalu proses yang benar. Allah telah mengajarkan bahwa hidup ini butuh proses. Tidak ada yang instant di dunia ini. Allah saja, di dalam Al-Qur’an, menciptakan langit dan bumi beserta isinya dalam “enam masa” (fi sittati ayâmin). Allah juga dengan sangat apik mengisi bumi dengan berbagai jenis tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Dia juga menghiasi langit dengan ‘lampu-lampu’ ciptaan-Nya. Itu semua tidak terjadi dalam satu waktu, tapi dalam beberapa masa. (Lihat misalnya Qs. Fushshilat [41]: 9-12). Padahal Allah Mahakuasa untuk menjadikan keduanya lewat kata kun fayakun. Tapi Allah ingin memberikan pelajaran dan pendidikan kepada kita bahwa tidak ada yang instant dalam hidup ini. Sejatinya, orang yang mau flas-back, melihat pertumbuhan dirinya: dari sejak kedua orangtuanya ‘berhubungan intim’; kemudian terciptalah embrio dalam rahim ibunya; menjadi bayi; anak-anak; remaja; dewasa; tua, dst, akan menyadari bahwa hidup ini memang memerlukan “proses”. Dengan begitu, dia tidak akan ‘nekat’ melakukan hal-hal yang melanggar sunnatullah. Dan segala sesuatu yang melanggar sunnatullah, biasanya tidak akan bertahan lama. Karena dia telah menghilangkan satu prinsip hidup, yaitu proses. Jika satu prinsip ini hilang, maka keberkahan juga akan ikut sirna. Jika keberkahan sirna, maka tidak ada kenikmatan. Dan seandainya kenikmatan itu telah tiada, tidak ada lagi yang disebut dengan hidup dan kehidupan. Yang ada hanya “kegersangan”. Karena tidak ada yang patut dibanggakan dari usaha kita. Semoga.[] (Medan, Minggu: 8 Syawwal 1428 H/21 Oktober 2007) http://alqassam.wordpress.com/http://qosim-deedat.blogspot.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Manusia Butuh Doa’a”
Ada manusia yang tidak butuh do’a? Sepertinya tidak ada. Semua kita butuh do’a: permohonan, permintaan kepada Allah SWT. yang memiliki jagat raya ini. Allah sendiri “berjanji” mengabulkan setiap permintaan (do’a) yang diajukan kepada-Nya. Bahkan, Allah menyatakan bahwa orang yang “tidak mau berdo’a” adalah orang yang “sombong”. Dia menjelaskan dengan sangat detail, “ Dan Tuhanmu telah menyatakan, ‘Berdo’alah kalian (seluruhnya) kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Sungguh, orang-orang yang sombong dari meminta kepada-Ku, mereka akan masuk ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan terhina.” (Qs. Ghâfir [40]: 60). Astaghfirullahal ‘Azhim. Sudah berapa lama kita tidak ‘menyapa’ Allah lewat untaian do’a-do’a kita? Sudah hilangkah Allah dari memori kita? Sudah tidak butuhkah kita kepada-Nya? Bayangkan, Allah berjanji akan mengabulkan segala permintaan dan permohonan kita. Tapi, kebanyakan dari kita malah berlagak ‘sombong’, pongah, takabbur dan tidak butuh Allah. Tidakkah kita takut kepada ancaman neraka Jahannam-Nya? Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri menjelaskan bahwa “al-Du‘â’u mukhkhu al-‘ibâdah” (Do’a itu adalah ‘inti ibadah’) [HR. al-Tirmidzi]. Artinya, orang yang hanya mementingkan “ibadah” tanpa dihiasi dengan do’a, sama aja bo’ong. Ibadahnya ‘tidak indah’ dan ‘tidak sempurna’. Oleh karena itu, beliau mengajarkan kita satu waktu yang benar-benar mustajab dalam menyampaikan do’a dan permohonan kita kepada Allah. “Posisi seorang hamba yang sangat dekat dari Allah adalah ketika dia bersujud. Oleh karena itu, perbanyaklah mengajukan “do’a”.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim). Manusia yang tidak pernah berdo’a kepada Allah, dia akan merasakan pelbagai kerugian. Dua diantaranya adalah: Pertama, dia dianggap sombong oleh Allah. Orang sombong adalah orang yang paling dibenci oleh Allah. Fir‘aun, Haman, Qarun, Abu Jahal, Abu Lahab, dan yang lainnya, adalah contoh orang-orang yang sombong. Fir‘aun pernah mengaku sebagai ‘tuhan yang paling tinggi’ (Qs. al-Nâzi‘ât [79]: 24). Haman adalah “teknokrat” Fir‘aun yang sangat pongah dan sombong. Qarun adalah “konglomerat” yang sombong: kikir dan menganggap dirinya paling kaya, sehingga tidak membutuhkan Allah dan manusia. Bahkan kekayaannya diklaim sebagai hasil jerih payahnya, hasil ilmu yang ada padanya, dan tidak ada kaitannya dengan Allah. Abu Jahal adalah sosok ‘orang bodoh’: tidak mengenal Tuhan, tapi mengaku paling pintar. Abu Lahab adalah “pengumpul harta” yang tak pernah kenal lelah. Allah dikesampingkan, karena Allah –menurutunya–tidak ada. Akhirnya, dia dan istrinya dibadikan oleh Allah sebagai “pelajaran” bagi mereka yang mau berpikir dan beriman. (Qs. al-Masad [111]: 1-5). Mereka itu lah sampel orang-orang yang sombong: ‘menghapus’ Allah dari memori mereka; tidak butuh kepada-Nya; mementingkan diri sendiri dan menganggap Allah ‘tidak berfungsi’ alias ‘mandul’. Kedua, karena mereka sombong, maka mereka masuk neraka Jahannam. Allah mengancam bukan tidak sayang. Karena menurut Kanjeng Nabi Muhammad, Allah sangat cinta dan suka mendengar ‘rintihan’ seorang hamba yang meminta dan memohon kepada-Nya. Sejak kita membuka surah pertama Al-Qur’an, Allah telah mengajarkan kita dua hal penting: [1] ibadah dan mohon pertolongan (isti‘ânah), iyya kana‘budu wa iyya kanasta‘in, dan [2] berdoa, ihdina al-shirâthal mustaqîm. Ini lah do’a mohon konsistensi (istiqâmah) dalam menapaki jembatan ibadah menuju Allah. Subhanallah, Allah mengajarkan sejak awal (sejak membuka mata), agar kita senantiasa menyandarkan diri kita kepada-Nya, bukan kepada yang lain. Sejatinya, Allah, lewat kitab-Nya Al-Qur’an mengajarkan kepada kita agar senantiasa berdo’a kepada-Nya. Tiga surah Al-Qur’an yang mengajarkan kita untuk berdo’a telah disusun dan diurut oleh Allah dengan sangat apik: [1] Qs. al-Fâtihah [1]: 6-7. Di sini Allah mengajarkan kepada kita agar berdo’a untuk memperoleh “jalan istiqâmah” dalam ibadah. Agar kita terhindar dari tingkah-laku dua umat sebelumnya: umat yang dimurkai (Yahudi) dan umat yang tersesat (Nasrani); [2] Qs. al-Baqarah [2]: 286. Di sini Allah mengajarkan beberapa hal: [a] agar Allah tidak‘menghukum’ kita jika kita lupa dan tanpa sengaja melakukan kesalahan; [b] agar jangan membebani kita dengan beban yang pernah dipikul oleh umat terdahulu; [c] supaya Allah tidak membebani kita lebih dari kemampuan kita; [d] agar Allah memaafkan, mengampuni dan merahmati kita. Sesungguhnya Allah adalah Penolong kita, yang mampu memberi kemenangan kepada kita dalam menghadapi orang-orang kafir. Subhanallah! Allah begitu sayang kepada kita. Dia menyediakan sarana untuk bisa connect dan ‘berdialog’ dengan-Nya. Do’a. Ya, sarana itu bernama do’a. Masih adakah yang tidak mau berdo’a kepada-Nya?! [] (Medan, 7 Syawwal 1428 H/19 Oktober 2007) http://ulul4lb4b.multiply.com/http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Menjadi Pemuda Peka Zaman”
Judul refleksi ini saya ‘curi’ dari judul buku karya Dr. Raghib As-Sirjani, penulis buku best seller “Misteri Shalat Shubuh” yang luar biasa dan fenomenal itu. Judul asli dari buku itu adalah Risâlah ilâ Syabâb al-Ummah, yang secara bebas saya artikan dengan “Surat Terbuka kepada Pemuda Islam”. Buku yang diterbitkan oleh penerbit AQWAM (Solo) ini penting untuk ‘diberitakan’ dan “diinformasikan”. Agar para pemuda sadar bahwa mereka punya “tanggung jawab” yang tidak ringan, karena mereka adalah calon nakhoda roda kemajuan Islam. Ya, pemuda sangat “vital” peranannya di tengah-tengah umat. Mereka adalah “tulang punggung” agama, bangsa dan negara. Dan itu semua tidak dapat diemban, jika para pemudanya tidak memiliki “komitmen” yang baik, benar dan istiqâmah. Di awal tulisannya, Dr. Raghib (hlm. 11) menyapa qalbu para pemuda dengan mencatat: “Potret generasi muda kita ini mencerminkan dan menjelaskan perkara yang sangat mengkhawatirkan kita semua, yakni sirnanya komitmen sebagai seorang Muslim di dalam diri generasi muda kita. Komitmen mereka sebatas hanya kepentingan pribadi belaka.” Kepentingan pribadi. Artinya, para pemuda itu benar-benar “egois”. Ini mungkin fenomena umum dari mereka. Mereka hanya memikirkan seputar perut, aksesoris duniwa (mobil, sepeda motor, hp, pakaian bagus dan modis), dugem (dunia glamour), tidak lebih. Saya khawatir, jika itu yang terjadi, para muda tidak akan mengenal Islam dengan baik. Jika demikian, maka Islam tidak akan membutuhkan mereka. Imam ‘Ali karramallâhu wajhah pernah bertutur: “Barangsiapa yang hanya berpikir tentang perutnya, maka kualitasnya “tidak lebih” dari apa yang dikeluarkan oleh ‘perutnya’”.Para pemuda Islam seharusnya menyadari, bahwa usia mereka akan dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Kanjeng Nabi SAW pernah bertutur tentang mereka ini: “Tidak akan bergeser kedua kaki Anak Adam pada hari kiamat dari Tuhannya, hingga dia ditanya tentang empat perkara: [1] tentang usianya , untuk apa ia habiskan; [2] “tentang masa mudanya”, untuk apa ia gunakan; [3] tentang hartanya, dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan [4] tentang ilmunya, apa yang telah ia lakukan dengan ilmu itu.” (HR. Al-Tirmidzi). Banyak pemuda yang berasumsi bahwa: “masa muda” adalah kesempatan untuk:[1] senang-senang; [2] hidup hura-hura dan poya-poya; [3] masa menikmati keindahan, karena tidak ada –menurut mereka–masa yang lebih indah selain “masa muda”. Maka muncullah istilah sweet seventeen; [4] masa –ini yang lebih konyol, na‘udzu billâh min dzâlik–memuaskan diri dengan perbuatan yang tidak baik: dosa dan maksiat kepada Allah. Karena dalam otak mereka, ketika rambut sudah ‘beratap seng’ alias berhias uban, mereka bisa taubat. Yang saya khawatirkan adalah, belum sempat taubat, nyawa (ruh) keburu dipanggil Sang Empunya, Allah SWT. Kapan mau taubat? Kapan mau kembali? Menunggu masa tua? Saya membayangkan, hanya sekedar misal, jika ada seorang pemuda yang kerjannya hanya mengkonsumi putaw, pil anjing –udah tahu pil ini diproduksi untuk anjing, diminum lagi–shabu-shabu, bir, dan zat adiktif lainnya. Apa yang dapat dilakukan oleh pemuda macam ini?! Seandainya dia jadi direktur sebuah perusahaan, akan ‘menghanguskan’ seluruh dokumen perusahaannya. Kenapa? Bisa jadi dia salah meletakkan tanda tangannya (signature), karena dia sedang on alias sakaw. Dia sedang mabuk, sehingga asal letakkan tanda tangan. Ini baru contoh sederhana. Bagaimana dengan pekerjaan yang lain, yang juga ditangani oleh pemuda model ini. Pemuda yang hidup dengan “dugem”, sangat berbahaya. Yang dia tahu hanya kesenangan belaka. Dia tidak sadar, bahwa kesenangan semacam itu sifatnya palliative alias sementara dan sekejap saja. Saya punya “dugem” yang lain. Dugem adalah ‘duduk gemetar’ alias “zikir” kepada Allah. Pemuda yang punya ingatan khusus untuk Allah, memorinya akan menjadi baik dan sehat. Karena dia punya tanggung jawab penuh terhadap kemajuan umat Allah (manusia) dan agama Allah (Islam). Dia akan sadar, ternyata dia juga bagian dari misi besar Islam, “rahmatan li al-‘Alamin”.Coba sejenak merenung dan berpikir. Umat ini butuh amunisi baru, para pemuda yang “peka” dengan problematika umat. Kita sudah lelah mendengar berita para pemuda yang masuk bui gara: putaw, memperkosa, membunuh, korupsi, dll. Lihat umat kita yang terbelakang: miskin, kotor, suka berantam, mudah diadu-domba, mudah ditipu dan dikibuli, suka menyalahkan saudaranya, suka pasrah ama takdir, cepat putus asa, cepat puasa dengan prestasi yang kecil, dan masih seabrek permasalahan dan sekeranjang problematika yang menuntut solusi dari pemuda. Bukankah itu semua tantangan bagi para mereka? Tapi ke mana mereka pergi dan menghilang? Pemuda yang peka dengan ‘sikon’ (situasi dan kondisi) zaman adalah pemuda “Muslim Sejati”. Pemuda masa depan. Karena hidup dan mati umat ini, menurut Musthafa al-Ghulayaini, adalah di tangan mereka. Al-Ghulayaini menyatakan, “Inna fi yadi al-syubbâni amra al-ummati, wa fî aqdâmihim hayâtaha” (Sungguh, di tangan para pemudalah urusan umat ini. Dan di bawah kaki mereka lah hidup dan matinya umat ini). Masihkah kita ‘tertidur lelap’ di atas ‘kasur khayalan’ dan “ilusi dusta”? Jika sadar bahwa “usia” akan dipertanggung-jawabkan, apakah kita mau dan rela “laporan pertanggung-jawabkan” kita ditolak, dicampakkan dan dicerca di hadapan Allah?! (Medan, Jum‘at pagi yang sedikit mendung, 7 Syawwal 1428 H/19 Oktober 2007) http://qosim-deedat.blogspot.com/http://alqassam.wordpress.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Malam Pertama yang Menegangkan”
Dalam benak kita, ‘malam pertama’ adalah malam yang sangat mendebarkan, menegangkan, bersejarah, dan bisa jadi mengasyikkan. Dalam refleksi ini, saya akan berbicara tentang ‘Malam Pertama yang Lain’. Malam pertama yang benar-benar “menegangkan” dan “menakutkan”. Malam pertama di Alam Kubur. Ya, itu lah “malam pertama” yang saya maksud. Tiga hari yang lalu, saya membeli buku Malam Pertama di Alam Kubur karya Dr. A‘idh al-Qarni, penulis buku Best Seller “La Tahzan”. Ketika masih belajar di Mesir, edis Arabnya (‘Awwalu Laylatin fi al-Qabr’) sempat saya beli dan saya baca, meskipun belum tuntas. Buku yang diterbitkan oleh AQWAM (Cetakan XXI, Agustus 2007/Rajab 1428 H) ini sudah digabung dengan dua buku karya ulama terkenal lainnya: [1] Dr. Muhammad bin Abdurrahman al-‘Uraifi (Hada’iq al-Maut, yang juga sudah saya baca edisi Arabnya di Mesir) dan [2] Syaikh Muhammad Husain Ya‘qub (Ahwal al-Qabr). Saya tidak bisa membayangkan situasi malam pertama di dalam kuburan. Menurut beberapa hadits Nabi SAW, alam kubur adalah alam barzakh. Satu alam yang “memisahkan” seorang mayit: dari alam dunia (nyata) dalam Alam Akhirat. Artinya, alam barzakh adalah stasion sementara. Hanya sekedar transit. Kemungkinannya hanya dua: alam barzakh menjadi “Taman-taman Surga” atau “Parit-parit Neraka”. Sejak malam pertama di sana, kita sudah disodorkan dua kemungkinan itu. Bukankah ini sangat menegangkan. Sebelum itu, menurut Nabi SAW, kita akan ditanya dahulu tentang banyak hal oleh dua malaikat Allah: Munkar dan Nakir. Dapatkah kita “lolos” dan “lulus” dari ujian kedua malaikat itu?! Teput dada, tanya hati, tanya iman. Biar dia menjawabnya. Saya akan mengutip apa yang dicatat oleh Dr. al-‘Uraifi dalam bukunya di atas. Beliau menulis dalam “Masalah Ketiga”: “Adzab dan nikmat kubur adalah perakara ghaib. Tidak bisa dilacak dengan akal. Sementara iman kepada hal ghaib adalah sifat terpenting seorang Mukmin, sebagaiman firman Allah ‘Azza wa Jalla, “Alif Lâm Mîm. Itulah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa. Yakni mereka yang beriman kepada yang ghaib…” (Qs. al-Baqarah [2]: 1-2). Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Diantara yang harus diketahui adalah adzab kubur, disebut juga “adzab barzakh”. Setiap orang yang mati akan mendapatkan adzab, dalam keadaan apapun kematiannya. Baik dikubur atau tidak. Bahkan sekalipun ia dimakan binatang buas, terbakar hingga menjadi abu yang beterbangan ditiup angin, disalib atau tenggelam di laut. Adzab itu akan mengenari ruh dan badannya, sebagaimana orang yang dikubur.” Bayangkan!!! Selamat belum tentu dapat, tapi azab barzakh sudah menanti kita. Dan itu sejak malam pertama dalam kuburan. Oleh karena, di lembaran awal tulisan al-Qarni, tercatat di sana: “Kuburan itu bisa menjadi taman surga. Sebaliknya, ia juga bisa menjadi satu lubang diantara lubang neraka.” Agar kita bersiap-siap untuk menghadapi malam pertama itu. Lain lagi dengan Syaikh Ya‘qub. Di awal tulisannya beliau menegur dan mengingatkan kita: “Renungkanlah nasib saudaramu yang kini telah dikubur: Dulu ia begitu menikmati pemandangan yang dilihat. Kini matanya telah copot; Dulu perkataannya begitu fasih. Kini cacing tanah telah memakan mulutnya; Dulu ia selalu tertawa. Kini giginya hancur terbenam tanah. Cermati dan perhatikan. Yakinlah, bahwa apa yang telah “ia” alami akan “engkau” alami.” Benar-benar menyeramkan malam pertama ini. Tak satu pun dari kita mampu lari dalam malam pertama itu. Malam pertama yang sangat menentukan: bahagai atau sengsara, surga atau neraka. Kita benar-benar akan mengalaminya. Sama halnya dengan kematian. Kita juga tidak mampu lari darinya. “Katakanlah, ‘Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagi kalian, jika kalian melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kalian terhindar dari kematian) kalian tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (Qs. al-Ahzâb: 16). Pintu barzakh atau kuburan adalah “kematian”. Bukankah semua orang tidak bisa lari darinya? Ya Allah, hamba benar-benar banyak dosa. Jiwa hamba ‘hitam-legam’ karena dibakar api dosa dan maksiat. Hamba benar-benar takut menghadapi ‘Malam Pertama’ itu. Berikan hamba istiqâmah dalam beramal. Bantu hamba untuk selalu konsisten berdzikir (mengingat) kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu dan menyembah-Mu dengan sempurna. [] (Medan, 18 Oktober 2007/6 Syawwal 1428 H). http://ulul4lb4b.multiply.com
<<Kembali ke posting terbaru
“Jangan Mengurai Benang Pintalan”
Jangan Mengurai Benang Pintalan Artikel Islam - Monday, 22 November 2004
Kafemuslimah.com "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembaliâ." (QS. An-Nahl: 92).
Ramadan telah beranjak meninggalkan kita semua. Satu hari, seminggu, dua minggu, hingga akhirnya sebulan kemesraan dan keindahan bersamanya pergi tak terasa. Sungguh begitu singkat waktu itu. Dia berlalu begitu saja dari hadapan kita. Ya, Ramadan telah kembali kepada rabb-nya, Tuhan seluruh bulan.
Kehadiran dan kepergian Ramadan selalu membuat kita bingung. Kehadiran dan kepergiannya membuat kita tertegun heran; mengapa begitu cepat berlalu? Baru kemarin rasanya kita menyambutnya, sekarang kita harus ditinggalkan olehnya. Apakah kita akan kembali bertemu dengannya? Itulah mungkin harapan dan angan-angan kita semua. Namun, ada satu hal yang perlu kita pertahankan, yaitu nilai-nilai training center yang telah diberikan oleh Ramadan kepada kita semua. Sebulan penuh kita digembleng, dididik dan diatur oleh Ramadan. Adalah hal yang tidak bijak ketika semua usaha kita untuk sabar, ikhlas, pemurah dan sebagainya; kita lepas begitu saja. Itu sama artinya dengan seorang perempuan yang mengurai kembali benang hasil pintalannya. Ia sudah letih dan capek untuk memintal benang agar menjadi baju yang baik dan bagus. Namun, setelah pintalan itu selesai benang-benang pintalanya diurai kembali. Akhirnya, baju yang bagus dan indah itupun bercerai berai tidak lagi berbentuk baju yang baik. Ia malah menjadi benang-benang yang kusut lagi.
Lalu apa yang harus kita lakukan setelah Ramadan ini? Setidaknya ada beberapa hal yang harus kita usahakan untuk senantiasa menjaganya; Pertama, berniat kuat untuk menjaga ketaatan kepada Allah. Sejatinya, seorang Muslim di bulan Ramadan banyak mendapatkan kenikmatan dalam beribadah. Shalat berjamah di masjid-masjid disertai dengan bacaan Al-Quran dari para imamnya, Tahajjud, Tadarusan, Tarawih dan sebagainya. Alangkah indahnya kalau itu semua dapat kita pertahankan. Amru Khalid, seorang da'i asal Mesir dalam bukunya Ramadhan Tijarah Rabihah mengatakan bahwa setidaknya ada lima hal untuk menjaga ketaatan yang telah kita pintal di bulan Ramadan itu;
Pertama melaksanakan shalat di masjid, khususnya pada shalat Id; sedikitnya tiga waktu terutama shalat fajar (shubuh). Kedua, dzikir (mengingat) Allah setiap hari meskipun hanya beberapa menit saja. Ketiga, berdoa setiap hari walaupun hanya beberapa menit. Keempat, mulai membaca Al-Quran lagi: meskipun setiap hari hanya membaca satu lembar. Kelima, puasa enam hari dibulan Syawal. Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang berpuasa Ramadan, kemudian menyertainya enam hari di bulan Syawal, seolah-olah ia berpuasa selama setahun." (HR. Muslim dan yang lainnya). Subhanallah! Menjaga lima hal di atas pasca Ramadan menunjukkan bahwa puasa kita diterima. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Diantara ciri-ciri diterimanya amal baik adalah Anda melakukan amalan-amalan baik setelahnya."
Kedua, memelihara kesinambungan amal. Mutawalli Al-Barajili dalam majalah Al-Tawhid (edisi X, thn ke-33, 2004) mengatakan bahwa Nabi saw jika mengerjakan suatu amal (pekerjaan), beliau mengokohkan dan menjaga kesinambungannya. Aisyah ra, istri tercinta Baginda Rasul SAW. ditanya: "Apakah Rasulullah mengkhususkan satu hari untuk beramal? Beliau menjawab: "Tidak! Amalan beliau senantiasa kontiniu" (HR. Bukhari).
Beliau tidak mengkhususkan untuk qiyamullail pada bulan Ramadan saja, meskipun beliau memang mengkhususkannya pada sepuluh hari terakhir'”, namun beliau selalu melakukannya sepanjang tahun. Aisyah berkata: "Rasulullah tidak pernah shalat lebih dari sebelas rakaat, baik di bulan Ramadan maupun pada bulan-bulan lainnya." (Muttafaq `Alaihi).
Ketiga, senantiasa mengawasi diri (muraqabah al-nafs). Ini seperti sistem 'waskat' alias pengawasan melekat untuk diri sendiri. Kita sangat butuh untuk mengawasi diri kita kata Mutawalli Al-Barajili, baik di saat sunyi maupun di saat keramaian. Dan kita harus ingat, kata beliau, bahwa Allah selalu mengawasi kita dan tidak satupun yang tersembunyi dari Allah: "Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit." (QS. Ali Imran: 5).
Maimun bin Mahran pernah bertutur; "Seseorang tidak dianggap bertakwa hingga ia benar-benar menghisab (mengawasi) dirinya lebih dari seorang partner khusus atas dirinya, hingga ia tahu dimana asal pakaian, makan dan minumnya." Saudaraku, mudah-mudahan ibadah puasa kita benar-benar terhunjam dalam hati kita, mengantarkan kita kepada derajat takwa yang kita idam-idamkan sekaligus dapat mewarnai perjalanan hidup kita sebelas bulan yang akan datang. Ãmin. Barangsiapa yang menyembah Ramadan, Ramadan telah berlalu pergi. Barangsiapa menyembah “Tuhan Ramadhan”, sesungguhnya Ia tetap hidup tidak akan mati. Semoga.[]
http://ulul4lb4b.multiply.com
<<Kembali ke posting terbaru
|