Friday, November 21, 2008

“Memaknai Kembali Syahadat Kita”

Apakah kita sudah “bersyahadat”? Jawabannya pasti “sudah”. Jika seorang pembicara menanyakan hal ini di tengah-tengah pendengarnya, secara spontan mereka akan menjawab, “Sudah, Pak ustadz!” Sejak lahir kami memang sudah Muslim. Agama kami Islam. Karena nenek moyang kami semuanya Muslim. Kita pun jika ditanya, akan menjawab hal yang sama. Tak akan beda.

Itu lah pemahaman kita tentang “akidah” Islam ini. Tentang syahadat kita sehari-hari. Sanking hafalnya, jawabannya pun spontanitas. Salah kah pemahaman kita itu? Tentu saja tidak seratus persen salah. Tapi juga tak dapat dibenarkan sepenuhnya. Karena syahadat adalah “ikatan” yang kokoh antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Maka dia dinamakan juga dengan “aqidah”, yakni unsur inheren dalam jiwa manusia, siapapun orangnya. Baik dia Mukmin, kafir, bahkan atheis sekalipun. Semuanya percaya bahwa hatinya terpaut dan terikat dengan sebuah keyakinan akan adanya kekuatan yang Maha Ghaib, Allah. Meskipun kadang lisan tak sejalan dengan hati. Lisan terbiasa untuk berdusta.

Mari kita maknai kembali aqidah kita, keislaman kita, syahadat kita. Aqidah Islam, yang sejak lahir kita bawa ke dunia ini. Apa sebenarnya hakikat aqidah dan syahadat kita itu? Sudah benarkah pemahaman kita tentang aqidah itu? Apakah konsep yang harus diresapkan ke dalam hati kita tentang aqidah ini?

Kita mulai dengan dua kalimat syahadat, ‘Asyhadu alla ilaha Illa Allah’: Tidak ada Tuhan selain Allah. Ini penggalan pertama dari pengakuan dan ikrar keimanan kita. Bahwa “Kita bersaksi tidak ada Tuhan yang patut disembah, selain Allah”. Sudah sampai dimanakah pemahaman ini? Sudahkah terhujam dalam dada? Wait! Sebentar! Apa maksud Anda bertanya seperti ini?

Ya, sudahkah kita memahami hakikat Allah yang “patut” kita sembah itu? Apa benar kita ini hamba-Nya? Itu pertanyaannya. Jika benar, sudahkah Allah juga mengakui kita sebagai hamba-Nya. Wow...belum sampai ke situ sepertinya pertanyaan dan pemahaman kita. Ini dia problemnya.

Kita jelas bukan Nabi Muhammad, dimana kehambaan-nya sudah diakui oleh Allah, “Maha Suci Allah; yang telah memperjalankan “hamba-Nya” dari Masjidil Haram (di Mekkah) ke Masjidil Aqsha (di Palestina)..." (Qs. Al-Isra’ [7]: 1). Itu lah nilai dan gelar hamba tertinggi, khusus untuk Rasulullah. Lisan kita memang ‘jujur’ mengaku Allah sebagai Ilah kita: sesembahan hakiki kita. Tapi sering kita campur dengan ilah-ilah yang lain. Bukankah seorang penyair besar kita, Taufik Ismail pernah menyatakan bahwa “rokok” adalah Tuhan 9 inci? Bagaimana dengan tuhan-tuhan yang lain, yang terus hinggap di hati kita: harta, tahta, pangkat, jabatan, kehormatan, dlsb. Sering kali hal-hal itu ‘menggeser’ dan ‘menggusur’ Ilah yang hakiki itu. Laa ilaaha illa Allah.

Saya ingin mengutip pendapat Sayyid Quthb tentang aqidah Islam ini. Aqidah yang sangat dahsyat nilai filosofisnya. Katanya: “Jika ditakdirkan dunia Islam ini “mati”, niscaya sudah mati sejak beberapa abad yang silam, sejak awal kejayaan kolonialisme (al-isti‘mar). Namun dia tidak mati. Dia masih berdiri kokoh, hidup menantang. Menghancurkan ikatan lehernya dan menggulingkan beban-bebannya. Bahkan dia menantang kolonialisme yang sudah gaek itu.” (Sayyid Qutbh, Fi al-Tarikh Fikrah wa Minhaj, (Cairo: Dar al-Syuruq, hlm. 7).

Setelah berbicara panjang lebar dengan fenomena kokohnya dunia Islam (al-‘Alam al-Islami) meski diserang oleh kolonialisme Barat, Quthb pun menyimpulkan rahasianya: “Apa yang menjaga bangsa ini tetap eksis dengan sekian potensinya yang tersembunyi; setelah sekian abad lamanya tak bangkit dari masa tidurnya, lemah dan tak bergairah, ditekan dan dicabik-cabik. Bahkan dikuasai oleh penjajahan yang “kurang ajar”, yang mencoba untuk memotong akar dan menghilangkan nafasnya? Yang mempertahankannya adalah “aqidahnya yang kukuh” dan terhujam mendalam. Aqidah ini lah yang tak mampu dibunuh oleh kolonialisme, meskipun kolonialisme pemikiran, spiritual, sosial dan politik mencoba untuk membunuhnya. Aqidahnya ini lah yang mengajak para pemeluknya berjalan tegak terhormat, karena kemuliaan hanya milik Allah, rasul-Nya dan kaum beriman. Sebagaimana aqidah ini juga mengajak untuk melakukan perlawanan (al-muqawamah) dan jihad (al-kifah) untuk merealisasikan kehormatan (rasa percaya diri, al-isti‘la’) dan tidak menyerah kepada para penjajah itu. Walau bagaimana pun kekuatan “materi mereka”. Karena kekuatan materi semata, tak menggentarkan orang yang beriman kepada Allah: penguasa seluruh langit dan bumi; yang berkuasa atas seluruh hamba-Nya.” (Quthb, hlm. 8).

Begitu kuat aqidah Islam, jika dipahami secara benar dan komprehensif. Para ulama di Indonesia, misalnya, mampu mengusir penjajah: Portugal, Belanda hingga Jepang, bukan karena apa-apa. Bukan hanya pekikan Allahu Akbar tanpa makna. Perjuangan mereka menjadi membara karena kekuatan aqidahnya. Dengan begitu, mereka tak gentar menghadapi para penjajah. Meskipun, sejarah mencatatnya, bambu runcing yang diajak melawan bom dan tank-tank modern Belanda. Tentu berbeda dengan para pengkhianat, yang berani menjual harga diri dan harga bangsanya kepada penjajah.

Bagian kedua dari syahadat adalah: ‘Wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah’, “Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah”. Benarkah demikian? Sudahkah syahadat ini masuk ke dalam relung qalbu kita? Jika benar, maka semestinya Rasulullah menjadi uswatun hasanah kita. Dalam bidang apa? Dalam segala hal. Yang baik tentunya. Yang tak bertentangan dengan syariat Allah s.w.t.

Kecintaan kita kepadanya tak terbatas ketika kehormatannya dicabik-cabik oleh koran Jylland-Posten di Denmark. Atau Fitna di Belanda oleh si Wilders yang liberal itu. Atau ketika situs indonesian.faithfreedom.org menghujat dan mencemarkan beliau, istri dan keluarganya. Tak hanya itu. Karena penghinaan terhadap Nabi sudah berlangsung lama, sejak beliau berada di Mekkah. Mereka hanya mengulang-ulang dan memutar ‘kaset lama’. Pembredelan situs pun dilakukan. Pembredelan situs tersebut tak menyelesaikan masalah sepenuhnya. Walaupun itu penting, tapi masih menyisakan problem. Yakni problem kecintaan kita dan kerinduan kepadanya. Habis Jylland-Posten, apakah cinta kita juga akan “sirna”. Setelah ditutup situs-situs yang menghina Rasulullah, tutup juga kah “pintu cinta” kita untuknya? Semuanya masih menyimpan question mark, tanda tanya besar yang harus dijawab dengan jujur oleh hati dan nurani kita. Artinya, syahadat jangan cuma hiasan bibir. Syahadat adalah aplikasi. Rasulullah adalah role model kita, bukan yang lain.

Saya ingin mengajak kembali untuk merenungkan pernyataan adik kandung Sayyid Quthb, Muhammad Qutbh tentang syahadat. Judul bukunya sangat menggugah dan menggelitik, ‘Hal Nahnu Muslimun’ (Apakah Benar Kita Muslim?). Insya Allah jawabannya sama seperti pertanyaan di awal tulisan ini: “Benar, kami adalah Muslim!” Kita lihat dulu penjelasan Muhammad Qutbh berikut:

“Tak diragukan bahwa kaum Muslimin awal tidak memahami Islam sepeti yang kita mau dan kita fahami saat ini, yaitu: kumpulan ibadah. Dimana ibadah tersebut dikerjakan oleh seorang manusia yang jauh dari nilai-nilai etika praksis (al-suluk al-‘amaliy). Dan manusia itu bisa menghadap Allah –secara ikhlas—dalam ibadahnya, kemudian menghadap juga kepada “selain Allah” dalam satu urusan hidup.

Sungguh, Islam yang dipahami oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan pengikut beliau, adalah “Islam jiwa” (Islam al-nafs) seluruhnya untuk Allah. Yaitu, hendaknya pemikiran-pemikiran manusia, perasaan dan etika praksisnya berada di bawah undang-undang yang telah ditetapkan Allah. Mereka tidak memahami: ‘Allaa ilaaha illa Allah wa anna Muhammadan rasulullah’ sebagai satu kalimat yang hanya diucapkan oleh lisan, tanpa memiliki makna yang jelas dalam relung jiwa dan realitas kehidupan. Melainkan memahami syahadat: ‘Allaa ilaaha illa Allah’: Dia adalah raja satu-satunya bagi alam ini; pengatur tunggal bagi setiap yang terjadi di dalamnya.

Dialah satu-satunya yang patut disembah. Kepadanya seluruh qalbu diarahkan dengan segenap rasa takut (al-khasyyah) dan ketakwaan (al-taqwa). Dialah satu-satunya pemberi kehidupan dan penentu kematian. Dialah satu-satunya pemberi rezki yang Maha Kuat. Beribadah kepada selain-Nya atau mengarahkan rasa takut kepadanya, dan mengira bahwa seseorang selain-Nya atau satu kekuatan dari kekuatan langit dan bumi berkuasa dalam memberikan manfaat dan bahaya kepada manusia adalah: satu bentuk syirik. Mereka senantiasa berlindung kepada Allah dari pemahaman yang demikian.

Di atas itu, mereka memahami bahwa makna ‘Laa ilaaha illa Allah’ : Dialah satu-satunya yang menguasai (raja) dan menurunkan hukum. Dialah yang mensyariatkan dan menetapkan untuk manusia undang-undang hidup mereka dan aturan kehidupan mereka. Dan tidak ada seseorang selain-Nya, atau satu kekuatan (baik di langit maupun di bumi) yang memiliki hal itu. Hal itu sudah ada sejak awal, sejak manusia itu ada, dan telah turun bersama Adam ketika ia diturunkan ke bumi: [‘Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 38-39). Itu merupakan hal yang lazim (harus ada) bagi manusia dalam seluruh sejarahnya: agar mereka menetapi hidayah Allah dan bertindak sesuai hidayah tersebut...Jika tidak, maka mereka tidak layak disebut sebagai “Muslim”.

Sebagaimana mereka memahami dari syahadat ‘Wa annah Muhammadan rasulullah’ bahwa: beliaulah seorang Rasul yang menjadi patokan dalam menyampaikan misi (risalah) tersebut. Yakni: hidayah (petunjuk) tersebut yang harus ditaati dan diikuti oleh manusia. Beliaulah penyampai (muballiqh) dari Tuhannya, yang harus ditaati bersamaan dengan ketaatan kepada Allah: [‘Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan supaya ditaati dengan izin Allah’] (Qs. Al-Nisa’ [4]: 64) dan Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (Qs. Al-Hasyr [59]: 7).

Dan Rasulullah adalah: penerapan praksis dan hidup (al-tathbiq al-‘amaliy al-hayy) bagi ‘risalah langit’. Beliaulah tauladan (al-qudwah) dalam setiap kerja dan tindak-tanduk. Beliaulah pemimpin kelompok (jamaah) Islam dan pendidiknya; ustadznya dan pengajarnya sekaligus “lentara” jamaah itu dalam kegelapan.”
(Muhammad Qutbh, Hal Nahnu Muslimun?, (Cairo: Dar al-Syuruq, cet. VII, 2005: 12-15).
Itu, menurut Muhammad Qutbh, makna global (ijmal) dari syahadat. Makna umum ini pun begitu dahsyat. Mampu mengubah manusia menjadi sosok di atas rata-rata, bahkan Mukmin sejati. Itu sebenarnya tujuan utama dari syahadat. Bagaimana kita menjadi Mukmin yang bukan hanya ucapan, tapi juga tindakan. Bukan Muslim yang NATO (No Action Talk Only). Atau istilah iseng seorang teman, ISMUN alias “Islam Munafik”.

Dengan syahadat ini kita dituntun menjadi hamba yang merdeka: merdeka dari segala bentuk penjajahan. Bisa penjajahan real, seperti kolonialisme. Maka wajar jika para ulama kita di Indonesia, tak sudi menghadap dan tunduk ke negeri Jepang. Karena mereka akan dipaksa melakukan “syirik”, karena menghadap Kaisar negeri Sakura itu. Atau penjajahan duniawi: syahwat kekayaan, gila hormat, gila harta, dslb. Bisa jadi penjajahan spiritual: percaya kepada kekuatan ghaib yang sudah jelas tak bisa melakukan apa-apa kepada kita.

Ringkasnya, syahadat adalah tawhid. Tawhid adalah pengesaan Allah. Pengesaan Allah adalah menafikan hal-hal selain Allah. Tidak ada yang lebih berkuasa, lebih kasih-sayang, lebih tahu akan kebutuhan, lebih mulia, dan lebih segala-segalanya daripada Allah yang “serba-maha”. Dan menafikan hal-hal selain Allah adalah inti Islam. Dengan begitu, jawablah pertanyaan ini: Apakah Anda sudah bersyahadat? Apakah Anda Muslim? Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Q]

22 November 2008
Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor, Jawa Timur.

 

<<Kembali ke posting terbaru

Tuesday, November 18, 2008

“MALU”

“Sesungguhnya, setiap agama itu memiliki moral. Dan “moral” Islam adalah “rasa malu” (al-haya’). (HR. Imam Malik).

Malu bukan hanya sekadar sifat. Tapi malu adalah “moral”, itu makna yang tersurat dalam hadits Baginda Rasulullah s.a.w. di atas. Betapa mulia orang yang punya malu. Betapa hinanya orang tak punya rasa malu. Sebesar rasa malu seseorang, sebesar itu pula nilai moralnya. Sebegitu pentingkah moral ini? Ya, karena malu itu integral dengan “iman”. Orang yang tak tahu malu, adalah orang yang kadar imananya ‘minus’.

Pejabat yang doyan “korupsi” adalah pejabat yang tak tahu malu. Orang yang bangga jadi “penjilat”, bikin laporan ABS (Asal Bapak Senang), politik belah bambu dlsb adalah orang yang tak tahu malu. Manusia-manusia yang menjajakan ‘aurat’nya ke sana-kemari adalah contoh real orang-orang yang tak tahu malu. Seolah auratnya murni dan mutlak miliknya.

Bukankah sekarang saatnya untuk berlomba-lomba menumpuk kekayaan yang tak halal. Sekarang pula saatnya orang-orang mendukung tindakan amoral: homseksualitas, lesbianisme, dlsb. Lihatlah apa yang sekarang berlaku dan berjalan di negeri yang mayoritas Muslim ini. Yang korupsi mayoritas adalah “Muslim”. Yang menolak RUU Pornograpi & Pornoaksi juga adalah orang-orang yang tahu agama, tapi tak tahu malu. Maka tak segan-segan seorang “hajjah” mendukung lesbianisme. Benar-benar tak tahu malu. Benar-benar manusia ingin “dihewankan” dan “dibinatangkan”. Bukankah hewan tak bisa membedakan di tempat ramai dan sepi. Dia juga tak mampu membedakan mana ibu dan saudarinya. Semuanya sama, semuanya boleh dikawini. Tak tahu malu. Itu lah hewan.

Merugi!
Orang-orang yang “merugi” adalah orang yang kehilangan rasa malu. Rasulullah s.a.w. pernah memberi gambaran menarik tentang orang yang tak tahu malu ini:

“Allah ta’ala jika ingin menghancurkan seorang hamba, dicabut dari dalam dirinya “rasa malu” (al-haya’). Jika telah dicabut darinya rasa malu, Anda takkan menemuinya kecuali dalam keadaan “dimurkai” dan “memurkai” (maqitan mumqitan). Jika Anda menemuinya dalam keadaan “dimurkai” dan “suka memurkai”, maka dicabutlah dari dirinya “amanah”. Dan jika telah dicabut dari dirinya “amanah”, maka Anda akan mendapatinya sebagai “orang yang suka berkhianat”. Jika Anda telah mendapatinya sebagai orang yang “suka berkhianat”, maka dicabutlah “rahmat” dari dirinya. Dan jika Anda mendapatinya sebagai orang yang dicabut rahmat dari dirinya, maka dia akan menjadi orang “terkutuk” dan “suka melaknat”. Dan ketika Anda mendapatinya sebagai orang yang “terkutuk” dan “suka melaknat”, maka dicabutlah dari dirinya “ikatan Islam”. (HR. Ibnu Majah).

Na’udzu billah min dzalik!

Bayangkan, betapa ruginya orang yang dicabut rasa malu dari dalam dirinya. Hati-hati, jika rasa malu sudah tak melekat lagi dalam qalbu kita. Ketika rasa malu mulai hilang, itu artinya mengundang murka Allah. Jika murka Allah sudah “diundang”, yang muncul adalah “rasa ingin memurkai orang lain”. Inginnya menumpahkan emosi dan kemarahan kepada orang lain. Semua menjadi sasaran emosinya yang kadang tak pada tempatnya. Kalau sudah seperti itu, rasa amanah pun akan sirna. Kalau kita tak lagi percaya kepada orang lain. Dan orang lain pun tak percaya kepada kita, kita jadi merasa tak ada yang “melihat”, dan akhirnya suka berkhianat. Menyalah-gunakan kekuasaan dan kesempatan. Kita selalu lihai mencari “kesempatan” dalam ‘kesempitan’. Orang yang kehilangan rasa “amanah” akan tampil sebagai “pengkhianat ulung”.

Jika seseorang sudah menjadi “pengkhianat” kelas kakap, artinya dia sudah menutup pintu rahmat Allah. Pintu, jendela dan kran “rahmat” tak terbuka lagi baginya. Allah menutupnya rapat-rapat. Dan dia pun akan hidup tanpa “rahmat Allah”. Ruginya lagi, tertutupnya pintu rahmat menjadi awal yang jelek baginya. Karena dia akan menjadi manusia “terkutuk”. Kalau sudah terkutuk, dia pun akan menjadi sosok “pelaknat” dan suka mengutuk orang lain. Kalau sudah sampai pada titik ini, berarti “tali Islam” sudah tak ada lagi dalam qalbunya.

Maka wajar saja jika orang yang masih punya hati nurani sangat merasa bertanggung-jawab untuk menjaga moral bangsa (hirasah akhlaq al-sya’b). Karena tanpa moral, apapun tak berarti. Tanpa akhlak, tak ada yang dapat dibanggakan dari diri seorang Muslim. Karena hidupnya akan bertolak-belakang dengan misi Rasulullah s.a.w. ‘Innama bu’itsu li’utammima makarimal akhlaq’ (Sungguh, aku diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia) [HR. Ahmad).

Amir al-Syu’ara’ (Pemimpin Para Penyair), Ahmad Syauqi Bek, pernah mengingatkan, “Innamal umamu baqiyat akhlaquhum. Wa in dzahabat akhlaquhum dzahabu” (Suatu umat, suatu bangsa, akan eksis jika moral bangsanya eksis. Jika moral tak lagi ada, eksistensinya akan punah dan musnah). Nilai sebuah bangsa dan negara adalah “moralitas”, bukan kekayaan alamnya. Karena “moralitas” menentukan perjalanan sebuah bangsa.

Oleh karena itu, Rasulullah s.a.w. senantiasa berdoa, “Allahumma jannibni munkaratil akhlaq wal a’mali wal ahwa’i wal adwa’i” (Ya Allah, jauhkanlah diriku dari segala macam akhlak tercela, hawa nafsu yang buruk, dan penyakit-penyakit yang ganas) [HR. Al-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Hakim).

Kesempurnaan Iman
Jadi, hilangnya rasa malu adalah awal dari bencana. Dia awal murka, awal dicabutnya rahmat, awal menjadi seorang pelaknat dan pengkhianat. Terakhir, dia biasa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Orang mungkin boleh bangga bahwa dia “lesbi”, tapi Muslimah. Orang boleh menepuk dada bahwa dia “lesbian” tapi “mujtahidah”. Jangan lupa, ketika satu titik saja rasa ingin membela kemungkaran, kita sudah termasuk ke dalam pembela kemungkaran. Dan orang yang merusak moral orang lain dengan dalih bahwa itu kepentingan dan privacy pribadi, dia telah kehilangan kontrol keimanan. Dan kontrol keimanan itu salah satunya adalah rasa malu.

Salah satu faktor kesempurnaan keimanan adalah tumbuh suburnya “rasa malu” dalam qalbu. “Malu itu bahagian dari iman. Dan iman adalah bagian dari surga. Sedangkan segala perkataan dan perbuatan “keji” adalah moral yang jelek. Dan moral yang jelek tempatnya adalah neraka,” (HR. Ahmad), demikian tegas Baginda Nabi s.a.w.

Orang yang memiliki rasa malu tidak akan sembarangan berbicara. Kata-katanya yang keluar dari mulutnya selalu baik (kalam thayyib). Lisannya terhindar dari dusta dan kata-kata yang rendah nilai. Seluruh kata-katanya sarat nilai, mahal dan berharga. Benar-benar “emas”. Manusia yang rasa malunya luar biasa, berarti sadar betul pepatah yang mengatakan ‘mulutmu harimamu’. Orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang mengerti bahwa tindak-tanduknya akan disaksikan banyak orang: keluarga, tetangga bahkan masyarakatnya. Maka, dia merasa malu kalau menampilkan hal-hal yang tak benar dan tak baik. Ibunda kita, Ummul Mukminin Aisyah r.a. diriwayatkan pernah mengilustrasikan “rasa malu” (al-haya’). “Seandainya rasa malu itu berbentuk seorang laki-laki, maka dia pasti seorang laki-laki yang saleh. Dan seandainya kekejian itu berbentuk laki-laki, maka pasti dia adalah laki-laki yang jelek dan jahat.” (HR. Al-Thabrani).

Malulah, karena malu adalah kemuliaan. Malu lah, karena malu adalah keimanan. Malu lah, karena malu adalah akhlak seorang Mukmin. Malu lah, agar sempurna imanmu. [Q]

Wallahu a’lamu bi al-shawab. (Selasa pagi di Centre of Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor, Ponorogo, Jawa Timur).

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)