Sunday, October 29, 2006

“Mengingat Kematian”

Satu hal yang harus senantiasa diingat oleh setiap diri adalah ‘kematian’. Allah telah menjadikan kematian sebagai satu perkara yang harus melekat dalam hati seorang Mukmin. Hakikat hidup adalah menanti kematian, bukan menghindarkannya. Allah SWT. telah menjelaskan fakta ini lewat firman-Nya, ‘‘Setiap jiwa merasakan kematian, kemudian kepada Kami kalian akan dikembalikan.’’ (Qs. Al-‘Ankabût [29]: 57).

Kematian itu ibarat gelas, setiap orang pasti akan merasakannya. Atau, kematian itu laksana pintu, setiap orang akan memasukinya. Kematian adalah syarat bertemu dengan Allah. Oleh sebab itu, seorang Muslim sejati tidak pernah menganggap kematian sebagai kematian. Ia hanya transit: dari dunia menuju akhirat. Dari kematian sementara menuju kehidupan hakiki: kampung akhirat. Ia hanya merupakan titik akhir dari perjalanan seorang manusia di dunia.

Bagi orang-orang kafir, kematian ‘tidak pernah ada’, karena menurut mereka dunia ini lah segalanya. Mereka bahkan membantah adanya hari ‘kebangkitan’. Allah menjelaskan sikap ingkar mereka ini, ‘‘Dan tentu mereka akan mengatakan: ‘‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan sekali-kali kita tidak akan dibangkitkan.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 29). Lebih tegas Allah menjelaskan, ‘‘Dan seandainya kalian melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentu kalian melihat peristiwa yang mengharukan). Berfirman Allah: ‘‘Bukankah kebangkitan ini benar?’’ Mereka menjawab: ‘‘Sungguh benar, demi Tuhan kami.’’ Allah berfirman: ‘‘Karena itu rasakanlah azab ini, disebabkan kalian mengingkari (nya).’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 31). Tapi tidak bagi seorang Mukmin. Mereka benar-benar yakin dengan adanya kebangkitan. Dan kebangkitan itu pasti terjadi dan diawali dengan kematian. Orang yang mengingkari kebangkitan adalah orang-orang yang sangat merugi, karena benar adanya. ‘‘Sungguh telah merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: ‘‘Alangkah besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!’’ sambil mereka memikul dosa-dosa di atas pungung mereka. Ingatlah, amatlah buruk apa yang mereka pikul itu.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 31).

Maut adalah pemutus segalanya. Ia disebut oleh Kanjeng Nabi SAW. sebagai hâdim al-ladzdzât, pemutus segala bentuk kenikmatan. Orang yang mati tidak lagi bisa merasakan nikmatnya teh manis di pagi hari, atau kopi di malam hari. Ia juga tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnya berkumpul dengan istri dan anak-anak; dengan orangtua dan tetangga. Atau, dia tidak bisa lagi menikmati keindahan dan panorama alam yang telah didesain oleh Allah sedemikian indahnya. Semuanya putus oleh ‘‘maut’’.

Orang yang berakal adalah yang mengerti kewajibannya di dunia ini. Ia tidak akan lama. Hanya ‘Mampir Ngombe’, kata orang Jawa. Ia laksana musafir yang berteduh di sebuah pohon yang rindang bernama dunia, setelah itu ia akan meninggalkannya. Tempatnya yang hakiki bukan di sini, tapi di ‘kampung akhirat’.

Kewajiban orang yang berakal, kata Ibnu al-Jauzy, adalah yang mempersiapkan diri untuk kematiannya. ‘‘Al-Wâjib ‘alâ al-‘âqil akdzu al-‘uddah lirahîlihî, ’’ujar beliau. Karena, menurut beliau, ia tidak tahu kapan kematian dari Tuhannya datang, dan tidak tahu kapan akan dipanggil? Saya melihat kebanyakan manusia telah tertipu oleh masa muda. Mereka lupa bahwa mereka akan meninggalkan teman-temannya dan dilalaikan oleh panjang angan-angan (thûl al-’amal). Mungkin seorang alim yang mukhlis akan berkata kepada dirinya: ‘‘Sibukkan dirimu dengan menuntut ilmu sekarang, kemudian beramallah dengan ilmu itu esok hari. Lalu ia berleha-leha dengan alasan ‘sedang rehat’, dan mengakhirkan persiapan untuk taubat. Dia tidak menghindarkan perbuatan gibah atau mendengarnya. Barangsiapa yang melakukan subhat (keraguan) dan berharap dapat menghapusnya dengan perbuatan wara‘, dia telah lupa bahwa maut datang dengan tiba-tiba. Orang yang berakal adalah yang memberikan hak setiap kesempatan yang ada. Jika maut menemuinya dengan tiba-tiba, ia telah bersiap-siap dan jika dia telah memperolah apa yang diangan-angankanya, maka bertambah kebaikannya,’’ demikian catat ‘Allâmah Ibnu al-Jauzyi dalam Shayd al-Khâthir-nya.

Bisa jadi kita termasuk orang yang berakal, sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu al-Jauzy. Tetapi, bisa saja sebaliknya: kita adalah orang yang bodoh, tidak tahu kewajiban untuk menyambut maut ketika datang menjelang. Dunia hanyalah ‘sendau gurau’, tidak lebih. Tapi, sendau gurau ini ternyata banyak membuat kita ‘puyeng’ dan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkraman dan jeratnya. Padahal, Allah telah menjelaskan dengan gamblang, ‘‘Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian memikirkannya (memahaminya).’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 32).

Bagi orang yang kaya raya, dunia bisa saja menjadi istana. Bagi si miskin, kemiskinannya bisa saja menjadikannya sebagai alat demonstrasi menentang tawakkal dan tidak sabar atas bagian yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari itu, kemiskinannya menjadikan dia lalai akan kematian. Bukankah kematian itu tidak pandang bulu. Ia akan datang kepada seorang presiden, tanpa minta izin. Ia juga bisa datang kepada pedagang asongan di stasiun kereta api tanpa belas kasihan. Ia akan menjelang orangtua yang sudah jompo dan juga kepada anak kecil, bahkan ketika masih menjadi janin di perut ibunya. Kematian itu ibarat buah kelapa. Ia bisa jatuh kapan saja. Sebelum jadi buah, ia bisa jatuh karena tersenggol lebah ketika menghisap madunya. Ketika muda, ia juga bisa jatuh. Dan ia bisa jatuh ketika sudah tua dan berminyak. Kita semua akan dihampiri oleh kematian. Allah SWT. telah memberikan warning agar kita tidak dilalaikan oleh kemegahan dunia. ‘‘Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Jangan begitu, kelak kalian akan mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahannam. Dan sesungguhnya kalin benar-benar akan melihatnya dengan ‘aynul yaqin’, kemudian kalian pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian megah-megahkan di dunia itu).’’ (Qs. Al-Takâtsur [102]: 1-8).

Maka, kewajiban setiap individu Mukmin di duni ini adalah beramal saleh. Hari-hari yang telah lalu harus ia jadikan sebagai pijakan dan barometer untuk melangkah ke arah yang lebih baik. Ia harus melakukan muhasabah diri. Sayyidina ‘Umar ra. memberikan teladan yang cukup baik dalam bermuhasabah, sehingga adagiumnya sangat terkenal, ‘‘Hâsibû ’anfusakum qabla ’an tuhâsabû, wa zinû a‘mâlakum qabla ’an tûzana ‘alaykum, wa tajahhazû li-l-‘ardhi ‘alâ Allâh, ‘Yauma idzin tu‘ridhuna lâ yakhfâ minkum khâfiyatun.’’ (Hisablah diri kalian, sebelum kalian dihisab – di hari kiamat – dan timbanglah amal kalian sebelum ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadap Allah: ‘‘Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) (Qs. Al-Hâqqah [69]: 18). Semoga amal kita semakin hari semakin baik, dan menjadikan kita benar-benar siap untuk menyambut kematian. Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []

Cairo, May 16, 2006.

Qosim Nursheha Dzulhadi.
http://qosim.multiply.com

 

<<Kembali ke posting terbaru

"Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur" (Harun Yahya)